Guna menekan angka penularan HIV/AIDS dari ibu ke anaknya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akan mengeluarkan peraturan yang mewajibkan kepada para ibu hamil di daerah epidemi HIV untuk menjalani tes HIV. Ibu hamil yang positif HIV akan diberi pengobatan dan layanan PDP (perawatan dukungan pengobatan).
"Setiap tahun jumlah anak yang tertular HIV dari ibunya terus meningkat. Kondisi ini sangat memperihatinkan," kata Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi saat membuka seminar bertajuk "Menyusui dan HIV" yang digelar Ikatan Konselor Menyusui Indonesia (IKMI), di Jakarta, Sabtu (30/8).
Menkes menjelaskan, tes HIV bagi ibu hamil sebenarnya telah dilakukan uji coba di sejumlah daerah epidemi HIV/AIDS sejak 2012 lalu. Dari 40.866 ibu hamil yang dites, sebanyak 1.264 diantaranya dinyatakan positif. Pada 2013, dari 100.840 ibu hamil yang dites, 3.153 orang dinyatakan positif, dan hingga Juni 2014 dari 27.888 ibu hamil yang dites, ada 278 orang yang ditemukan positif.
Data Kemkes 2013 menunjukkan, dari 1.630 bayi yang lahir dari ibu HIV positif, sebanyak 1.539 bayi berhasil diselamatkan sehingga tidak sampai tertular HIV. Sedangkan tahun ini hingga Juni 2014, dari 926 bayi yang lahir dari ibu HIV positif, hanya 54 bayi yang tertular. Sebagian besar bayi berhasil diselamatkan berkat pengobatan ARV sejak masa kehamilan.
"Tekad dan komitmen kita adalah tidak ada lagi bayi yang lahir positif HIV. Dengan semakin banyaknya ibu hamil yang ditest dan diberikan ARV, tentunya akan semakin banyak bayi yang bisa diselamatkan, sehingga generasi berikutnya bisa terbebas dari HIV/AIDS," kata Nafsiah menegaskan.
Sedangkan data anak usia 0-4 tahun yang diketahui tertular HIV, Kemenkes mencatat pada 2010 ada sekitar 390 anak. Jumlah itu meningkat menjadi 547 anak pada 2011 lalu pada 2012 jumlahnya menjadi 541 anak. Pada 2013 jumlahnya sudah mencapai 759 anak.
"Untuk data 2014, hingga Juni lalu. Sudah ada 370 anak usia 0-4 tahun yang tertular. Jika kita tidak melakukan tindakan secara serius, bukan tidak mungkin angkanya menjadi lebih dari 1.000 anak," ujar Menkes.
Hingga Februari 2014, Kemenkes telah memberi pengobatan antiretroviral (ARV) kepada 1.814 anak. "Perkiraan saya jumlah anak yang membutuhkan ARV masih banyak, tetapi sulit ditemukan. Karena tidak semua orangtua anaknya saat berobat," ujar Nafsiah.
Sedangkan kasus AIDS cenderung menurun dalam rentan waktu yang sama. Pada anak usia 0-4 tahun masing-masing ditemukan sebanyak 234 orang pada 2012, 154 orang pada 2013, dan 8 orang pada 2014. Sedangkan usia 5-14 tahun masing-masing sebanyak 79 orang pada 2012, 59 orang pada 2013, dan 1 orang pada 2014.
"Sedihnya sebagian dari anak-anak ini ketika ditemukan sudah dalam keadaan AIDS," kata Menkes.
TAKUT PERIKSA
Nafsiah mengungkapkan, masih banyak perempuan yang enggan melakukan
test HIV. Alasannya, kebanyakan takut diketahui suami, padahal tanpa sadar suamilah yang menularkan. Sebagian ibu hamil yang datang ke fasilitas kesehatan juga hanya untuk bersalin.
"Padahal dengan deteksi dini dan pengobatan ARV, penularan kepada bayi bisa dicegah seminimal mungkin," ujarnya.
Dijelaskan, risiko penularan ibu ke bayi mencapai 30 persen, atau 1 dari 3 ibu hamil bisa menularkan kepada bayi. Risiko penularan ini akan bertambah jika
kedua orang tua sama-sama positif, dan melakukan hubungan suami isteri
tanpa kondom. Padahal risiko ini bisa ditekan hingga 3 persen hanya dengan
ARV.
"Anak yang sudah terlanjur lahir dengan HIV, bisa diobati dengan ARV. Sayangnya, sebagian orang tua juga tidak mau membawa anaknya untuk diperiksa," kata Menkes.
Menurut Menkes, HIV/AIDS tidak lagi vonis mati. Buktinya, kematian
akibat AIDS terus menurun setiap tahun. Pada 2004 angka kematian
mencapai 16 persen dari seluruh kasus yang positif dan masuk pengobatan.
Angka ini mulai menurun ke 13,5 persen (2005), 10,9 persen (2006) sampai ke 1,6 persen pada 2013.
Menkes menambahkan, sebagian besar yang mendapat ARV bisa hidup dengan
kualitas baik. Namun, sekali ketularan HIV seumur hidup bisa menularkan.
Karena itu, setiap orang yang mengetahui dirinya positif bertanggung
jawab tidak menularkan kepada orang lain. Antara lain dengan mengubah
perilaku, seperti hubungan seks aman dengan menggunakan kondom, dan bila memakai alat suntik narkoba selalu yang steril.
Kemenkes sendiri sudah melakukan berbagai upaya pencegahan ibu ke anak
(PPIA). Di 26 rumah sakit sudah ada alat pemeriksaan deteksi dini HIV/AIDS. Semakin banyak pula rumah sakit yang bisa melakukan tes pada bayi baru lahir.
"Saat ini terdapat 236 puskesmas yang sudah punya tenaga terlatih unuk
pencegahan penularan ibu ke anak, di mana 166 di antaranya didukung
oleh Gobal Fund, dan 93 kabupaten kota melaksanakan intensifikasi PPIA
terintegrasi pada post natal care.
Kemkes juga menjamin stok ARV untuk anak aman, dengan empat jenis
rejimen, yaitu pediatric tiple FDC, pediatric dual FDC, ZDV 100 mg,
dan ABC 300 mg.
Menurut Menkes, semua upaya sudah dilakukan pihaknya dalam menurunkan angka HIV/AIDS di Tanah Air. Namun, masih tingginya perilaku seks berisiko di kalangan pria menjadi tantangan
besar. Diperkirakan ada 4,9 juta wanita yang berisiko terkena HIV, lantaran menikah dengan 6,7 juta pria yang diduga membeli seks.
ILMUNYA JADUL
Pada kesempatan yang sama Menkes Nafsiah mengingatkan para dokter agar pempuan dengan HIV/AIDS yang hamil tetap harus minum obat antiretroviral (ARV) selama masa kehamilannya. Ia juga diperbolehkan melahirkan secara normal, bukan tindakan caesar seperti dimasa lalu. Operasi caesar baru dilakukan jika ada indikasi medis.
"Dokter kandungan yang melarang perempuan dengan HIV/AIDS melahirkan secara normal itu ilmunya masih jadul," ujarnya.
Menurut Nafsiah, pada dasarnya ibu hamil yang positif HIV/AIDS harus diberikan obat ARV sedini mungkin dan selama masa kehamilannya. Dengan demikian, peluang terjadinya penularan dapat dicegah seminimal mungkin.
Untuk bayinya sendiri, jika tertular virus HIV baru bisa diberikan setelah umur 6 bulan. Semakin dini obat ARV diberikan, virusnya semakin mudah dikendalikan.
Berdasarkan Surat Edaran (SE) Menkes No GK/MENKES.001/I/2013, disebutkan, ibu hamil yang positif menderita HIV wajib diberi obat ARV dan layanan PDP (Pengobatan, Dukungan dan Perawatan. "Ini bukan lagi himbauan, tetapi saya katakan wajib minum obat ARV. Soalnya masih banyak dokter kandungan yang ngeyel," ucap Menkes menegaskan.
Begitupun dengan pemberian ASI eksklusif. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 33 Tahun 2012, ASI wajib diberikan pada anak secara ekslusif selama 6 bulan dan bisa diteruskan hingga selama-lamanya 2 tahun. Hal itu penting untuk meningkatkan antibodi dalam tubuh anak.
"ASI itu tidak bisa digantikan oleh susu formula secanggih apapun. Karena ASI itu diciptakan untuk bayi, sedangkan susu sapi untuk anak sapi. Berikan ASI ekslusif selama 6 bulan setelah itu beri makanan tambahan yang bergizi agar daya tahan tubuhnya terbangun," ucap Nafsiah.
Ia kembali menegaskan, siapapun yang menolak memberikan ASI kepada bayinya, berarti tak menaati peraturan. Bila dalam kondisi tertentu ibu memilih pengganti ASI, maka ia berhak mendapatkan konseling makanan bayi yang memenuhi persyaratan teknis.
"Bayi diberikan susu formula jika ada indikasi tertentu, misalkan ibunya meninggal saat persalinan. Tetapi jika ASI-nya hanya keluar sedikit, biarkan anak menyedotnya. Karena tindakan itu justru merangsang produksi ASI," katanya.
Menkes menambahkan, anjuran pemberian ARV bagi ibu hamil dengan HIV/AIDS dan menyusui, juga selaras dengan rekomendasi badan kesehatan dunia WHO.
"Jika para dokter tidak mau mendengarkan omongan menkes, paling tidak mematuhi anjuran WHO," ucap Nafsiah menandaskan. (TW)
{jcomments on}