6 RS Vertikal Raih Penghargaan "Panutan Terbaik"

menkes9sept2

Kementerian Kesehatan bersama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan memberi anugerah penghargaan "Panutan Terbaik" kepada 6 rumah sakit (RS) vertikal.

Hal itu dilakukan guna memberi model kepada rumah sakit baik vertikal atau non-vertikal lainnya untuk memberi layanan optimal serta pengelolaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang baik.

Penghargaan diberikan secara simbolik oleh Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi di Jakarta, pada Senin (8/9) malam. Turut hadir dalam kesempatan itu, Dirut BPJS Kesehatan, Fachmi Idris dan Dirjen Bina Upaya Kesehatan (BUK), Akmal Taher.

Enam RS yang mendapat penghargaan, untuk kategori rumah sakit umum diberikan kepada RSUP Sanglah, Bali (Juara I), RSUP Fatmawati Jakarta (Juara 2) dan RSUP Dr Kariadi Semarang (Juara 3).

Untuk kategori rumah sakit khusus yaitu RS Orthopedi Prof Dr R Soeharso, Surakarta (Juara 1), RS Jiwa Lawang, Malang (Juara 2) dan RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.

Menurut Menkes, RS vertikal berperan penting dalam menyukseskan pelaksanaan program JKN, karena memiliki beberapa keistimewaan. Disebutkan, antara lain, kompetensi sumber dayanya, fasilitas pelayanan yang lengkap, sebagai rumah sakit pendidikan dan rumah sakit rujukan pusat.

"Sebagai rumah sakit percontohan, RS vertikal selain memberi layanan optimal, harus lebih detil lagi dalam menyusun dan menerapkan clinical pathway sebagai acuan dalam pengendali mutu dan biaya rumah sakit," ujar Nafsiah.

Selain itu, lanjut Menkes, RS sertikal juga harus melakukan standarisasi penggunaan alat dan obat, termasuk mendisiplinkan penggunaannya dan yang tak kalah penting mengaktifkan tim audit klinis rumah sakit.

"Ini semata dilakukan demi memberi pelayanan JKN yang komprehensif, terintegrasi dan berorientasi pada pasien," kata Nafsiah Mboi menegaskan.

Pada kesempatan yang sama, Menkes Nafsiah Mboi menyatakan kegembiraannya atas cakupan JKN yang semakin meningkat. Hingga 4 September tercatat ada 127 juta penduduk Indonesia yang menjadi peserta JKN.

Disebutkan, saat ini jumlah rumah sakit yang sudah tergabung dalam program JKN sebanyak 1551 RS dari 2353 RS. Jumlah itu termasuk 33 RS vertikal milik Kemenkes.

"Saya harap jumlah faskes baik di tingkat pertama maupun rujukan secara bertahap dapat terus ditingkatkan. Sehingga akses seluruh peserta JKN semakin mudah dan cepat," tuturnya.

Sementara itu, Dirjen BUK Akmal Taher menjelaskan, ada 4 kategori besar yang dinilai dalam proses pemilihan Panutan Terbaik yaitu sistem pendaftaran, sistem manajemen pelayanan, sistem penagihan klaim JKN dan sistem penanganan komplain.

"Seluruhnya ada 17 variabel dari kriterian penilaian dengan bobot yang berbeda-beda," kata mantan Dirut RS Cipto Mangunkusumo itu seraya menambahkan penghargaan akan diberikan setiap tahun.

Ditambahkan, peraih penghargaan tahun ini berpeluang untuk menang lagi di tahun depan. Dengan demikian, masing-masing rumah sakit vertikal harus berlomba-lomba memperbaiki terus kinerjanya. (TW)

 

Berita Terkait

 

{jcomments on}

RS Khusus Vertikal Harus Jadi Center of Excellence

menkes9sept

Rumah sakit khusus vertikal milik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) harus memperbanyak pengembangan layanan unggulan. Selain memenuhi kebutuhan masyarakat akan layanan medik spesialistik, juga memperkuat fungsi pendidikan dan penelitian.

"Rumah sakit khusus vertikal harus bisa jadi center of excellence. Jangan berlaku biasa-biasa saja. Fungsi pendidikan dan penelitiannya harus diperkuat," kata Menkes Nafsiah Mboi saat kunjungan kerja ke 3 rumah sakit vertikal Kemenkes, di Jakarta, Senin (8/9).

Tiga rumah sakit yang dikunjungi adalah RS Jantung dan Pembuluh Darah (RSJPD) Harapan Kita, RS Ibu dan Anak (RSIA) Harapan Kita dan RS Kanker Dharmais, yang berada dalam satu kompleks di wilayah Jakarta Barat.

Di Era pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), lanjut Nafsiah Mboi, RS khusus harus melakukan penguatan pelayanan dengan memberdayakan komite medik dalam menyusun Panduan Praktik Klinik dan Clinical Pathway. Melalui panduan tersebut, diharapkan setiap klinisi dilakukan secara sungguh-sungguh.

"Upaya ini, dapat memacu rumah sakit untuk memberikan pelayanan yang bermutu dengan biaya terjangkau," ujarnya.

Menkes menegaskan, keberhasilan pelaksanaan JKN sangat ditentukan oleh komitmen seluruh sumber daya manusia bagi tenaga kesehatan maupun non-kesehatan yang berada di fasilitas pelayanan kesehatan tersebut.

"Utamakan patient safety dan berikan pelayanan terbaik. Pelayanan itu tak hanya pada aspek medik dan keperawatan, tetapi dalam aspek sikap dan perilaku seperti keramahan, empati, komunikatif. Ini yang sering diabaikan tenaga kesehatan kita," ujarnya.

Menkes memberi perhatian pada ketiga rumah sakit vertikal itu, karena penanganan kanker dan penyakit jantung di Indonesia masih sangat tinggi. Dalam pembiayaan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) 2012, pengobatan kanker menempati urutan ke-4 setelah hemodialisa (cuci darah), thalasemia (kanker darah) dan Tuberkulosis (TB).

"Jumlahnya mencapai Rp 144,7 miliar. Kondisi ini jelas menjadi beban ekonomi dan sosial masyarakat. Untuk menekan beban pelayanan kesehatan, perlu upaya penguatan pelaksanaan kegiatan promotif-preventif termasuk upaya deteksi dini penyakit tidak menular," tutur Nafsiah Mboi.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan prevalensi kanker di Indonesia adalah 1,4 per 1000 penduduk. Artinya, pada 2013 terdapat sekitar 3 juta orang terkena kanker di seluruh Indonesia.

Menkes menambahkan, salah satu tantangan besar lainnya yang harus disikapi secara sungguh-sungguh adalah menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Hasil survey demogragi dan kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukkan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia mencapai 359 per 100 ribu kelahiran hidup.

Sedangkan angka kematian bayi (AKB) pada 2012 adalah 32 per 1.000 kelahiran hidup. Sementara sasaran Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015 adalah menurunkan AKI menjadi 102 per 100 ribu kelahiran hidup dan AKB menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup. (TW)

Berita Terkait

 

{jcomments on}

MSF: Dunia Gagal Segera Atasi Epidemi Ebola

Organisasi kemanusiaan Dokter Lintas Batas (MSF) menilai para pemimpin dunia telah gagal mengatasi epidemi Ebola yang telah berlangsung selama enam bulan terakhir. Menurut pemaparan Presiden Internasional MSF, dr. Joanne Liu di kantor Sekretaris Jenderal PBB dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), penyebaran virus tidak akan bisa dicegah tanpa adanya pengiriman bantuan massif berupa unit-unit medis khusus untuk memperkuat upaya pengendalian epidemi di negara yan terkena dampak.

Pemaparan Joanne itu tertuang dalam keterangan pers MSF yang diterima VIVAnews pada Rabu, 3 September 2014. Dia menyebut kenyataan yang terjadi di lapangan selama ini untuk melawan Ebola, negara di kawasan Afrika Barat hanya mengandalkan Kementerian Kesehatan dan organisasi non pemerintah. Padahal, MSF sudah berulang kali menyerukan adanya mobilisasi bantuan yang massif di lapangan. Tetap saja, respons internasional dirasakan kurang.

Continue Reading

Sosialisasi Tarif Baru Layanan Kesehatan Belum Merata

Sosialisasi tarif baru pada sebagian kelompok Indonesia Case Based Groups atau INA-CBGs yang dipakai dalam klaim layanan kesehatan di fasilitas kesehatan lanjutan belum merata. Padahal, tarif baru layanan kesehatan di rumah sakit itu mulai berlaku per 1 September.

Direktur Utama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) M Junus, Bengkulu, Daisy Novira, saat dihubungi dari Jakarta, Senin (1/9), mengatakan, pihaknya belum tahu ada tarif baru INA-CBGs. Ia sebatas mengetahui akan ada perbaikan tarif, tetapi belum tahu kapan tarif baru itu berlaku dan bagaimana perubahannya.

"Saya tahunya tarif INA-CBGs akan dievaluasi. Tetapi, kalau ternyata tarif baru sudah ada dan mulai berlaku, saya tak tahu. Biasanya, BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) memberi tahu kami kalau ada perkembangan terbaru. Sekarang belum ada informasi apa pun dari BPJS. Mungkin mereka juga belum tahu," tutur Daisy.

Setelah mengetahui ada penyesuaian tarif pada sebagian kelompok INA-CBGs, Daisy berencana secepatnya mengunduh aplikasi terbaru terkait itu.

Sementara itu Kepala Humas RS Moh Hoesin, Palembang, Emma Huzaimah mengatakan, pimpinan RSMH pada minggu lalu telah menginformasikan akan ada tarif baru INA-CBGs. Informasi itu lalu diteruskan kepada seluruh karyawan RS. Namun, ia tak tahu pasti informasi lebih rinci soal tarif baru itu, misalnya kapan berlaku dan kelompok apa saja yang tarifnya disesuaikan.

Berbeda dengan Daisy dan Emma, Kepala Humas RSUD Tangerang Ahmad Nizar mengaku sudah mengetahui ada tarif baru pada sebagian kelompok INA- CBGs dan siap menjalankan kebijakan itu. "Sebagai RS pemerintah, kami tak ada masalah. Kami bahkan sudah memakai INA- CBGs sejak masih masa Jamkesmas," ujarnya.

Pantau pelaksanaan

Ahmad menegaskan, meski penyesuaian tarif itu diapresiasi, pihaknya akan memantau perkembangan terbaru di lapangan dalam beberapa bulan ke depan. Pihaknya juga akan memberi masukan jika ada hal mengganjal di lapangan.

Evaluasi dan penyesuaian tarif baru INA-CBGs pada 39 kelompok tarif sudah dilakukan Kementerian Kesehatan. Tarif pada 39 kelompok yang dinilai terlalu rendah itu lalu dinaikkan, di antaranya layanan bedah ortopedi, bedah saraf, dan layanan rawat jalan dengan pemeriksaan penunjang. Untuk mengompensasi kenaikan sebagian tarif itu, 60 kelompok rawat inap yang dinilai terlalu tinggi diturunkan sehingga keseimbangan pendapatan dan pembiayaan terjaga.

Penyesuaian tarif itu diharapkan memperluas keikutsertaan RS dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dengan demikian, masyarakat mendapat layanan kesehatan yang baik.

Sebelumnya, Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan Donald Pardede menjelaskan, Peraturan Menkes tentang tarif baru INA-CBGs ditandatangani Menkes dan mulai berlaku September ini. Jadi, klaim terhadap tarif baru bisa dilakukan RS pada Oktober 2014. Sabtu (30/8), Menkes Nafsiah Mboi menyatakan, bahan sosialisasi tarif baru sudah dikirim ke sejumlah RS.

Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan Fajriadinur mengatakan, setelah sebagian tarif INA-CBGs berubah, BPJS harus memperbarui aplikasi verifikasi dan klaim biaya RS. Lalu, RS bisa mengklaim dengan tarif baru pada Oktober dengan syarat sudah merampungkan klaim tindakan pada Agustus ketika tarif belum berubah. (ADH/A04)

sumber http://health.kompas.com/

 

Negara Rugi 56,7 Triliun Akibat Sanitasi Yang Buruk

2sept14Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan masih ada 40,2 persen penduduk Indonesia belum mendapat sanitasi yang layak. Akibat sanitasi yang buruk, setiap tahunnya negara mengalami kerugian ekonomi sebesar Rp 56,7 triliun.

"Itu berdasarkan hitung-hitungan badan kesehatan dunia WHO, bahwa setiap 1 dolar yang diinvestasikan untuk perbaikan sanitasi akan memberi imbal hasil paling sedikit 8 dolar," kata Direktur. Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Wilfried H Purba dalam temu media, di Jakarta, Selasa (2/9).

Dalam kesempatan itu didampingi Direktur Pemukiman dan Perumahan Bappenas, Nugroho Tri Utomo.

Menurut Wilfried, upaya perbaikan sanitasi tidak bisa dilakukan pemerintah sendirian. Karena itu, pemerintah sejak tahun lalu meluncurkan program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) agar problematika sanitasi bisa diselesaikan lebih cepat.

"STBM menggunakan pendekatan yang mengubah perilaku hiegienis dan sanitier melalui pemberdayaan masyarakat dengan cara pemicuan," ucapnya.

Melalui program STBM, lanjut Wilfried, diharapkan persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi layak berkelanjutan naik dari sebelumnya sebesar 59,71 pada 2013 menjadi 60,63 pada 2014. Angka itu diharapkan naik lagi menjadi 62,41 persen pada 2015 dan sebesar 100 persen pada 2019.

"Ini merupakan tantangan yang sangat besar, bagaimana pada 2019 nanti seluruh penduduk Indonesia mendapat sanitasi dan sumber air minum yang layak. Dua hal itu sangat penting untuk mendukung kesehatan masyarakat," ucap Wilfried Purba menegaskan.

Begitupun pada persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum yang layak berkelanjutan, dari sebelumnya 67,02 pada 2013 menjadi 67 pada 2014. Jumlahnya diharapkan terus meningkat menjadi 68,87 persen dan 100 persen pada 2019.

"Pada 2013 lalu sudah ada 16.228 desa/kelurahan yang menerapkan STBM. Hingga pertengahan 2014 sudah ada 18.339 desa/kelurahan dan jumlahnya terus meningkat menjadi sekitar 2000 desa/kelurahan," ujarnya.

Disebutkan, 5 pilar STBM adalah stop buang air besar sembarangan, cuci tangan pakai sabun dan air mengalir, pengelolaan air minum dan makanan rumah tangga, pengamanan sampah rumah dan pengamanan limbah cair rumah tangga.

"Jika 5 pilar STBM dipatuhi maka akses masyarakat mendapatkan sanitasi dan sumber air minum akan berjalan lebih baik," ujarnya.

Sementara Direktur Pemukiman dan Perumahan Bappenas, Nugroho Tri Utomo memaparkan peluang dan tantangan pembangunan air minum dan sanitasi. Disebutkan, ada sejumlah usaha yang bisa dilakukan antara lain program Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan, implementasi Undang-Undang (UU) Desa dan kerjasama dengan masyarakat hingga regionalisasi air minum dan sanitasi.

"Diharapkan pada 2019 ada 100 juta penduduk yang mendapat akses air minum layak dan sekitar 120 juta penduduk mendapat sanitasi yang layak," katanya.

Ia menyebutkan, dana investasi untuk peningkatan akses air minum dan sanitasi lebih dari 550 triliun. Dari jumlah itu, untuk air minum sebesar 275 triliun yang bisa diambil dari dana APBN, APBD, PDAM dan KPS.

Sedangkan dana investasi untuk sanitasi, dijelaskan, sebesar 273 triliun untuk pengelolaan air limbah sebesar 202,4 triliun, persampahan 57,7 triliun dan pembangunan dan perbaikan drainase sebesar 13,7 triliun. (TW)

materi Presentasi

{jcomments on}

Ditunggu Revolusi Mental Jokowi Bidang Kesehatan

Program revolusi mental Presiden terpilih Jokowi, kini ditunggu pelaksanaannya. Terutama dalam bidang kesehatan, yang dicanangkan sejak anak-anak.

Revolusi mental diharapkan bisa diperkuat pada wilayah kesehatan, karena mental yang kuat bersumber dari kesehatan.

"Gagasan tentang menyambungkan revolusi mental dengan revolusi kesehatan ini jelas dalam kerangka berpikir dan berkaitan secara langsung," ujar Asisten Deputi Sumber Daya kesehatan Departemen Perumahan Daerah Tertinggal, Dr. Hanibal Hamidi M.kes dalam diskusi bertema "Revolusi Kesehatan Menuju Revolusi Mental untuk Indonesia Baru," yang digelar Pusat Kajian Aksi Revolusi Mental (PERMANEN), Senin (1/9/2014).

Continue Reading

Ibu Hamil Di Daerah Epidemi HIV Wajib Ikut Tes

menkes-konas

Guna menekan angka penularan HIV/AIDS dari ibu ke anaknya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akan mengeluarkan peraturan yang mewajibkan kepada para ibu hamil di daerah epidemi HIV untuk menjalani tes HIV. Ibu hamil yang positif HIV akan diberi pengobatan dan layanan PDP (perawatan dukungan pengobatan).

"Setiap tahun jumlah anak yang tertular HIV dari ibunya terus meningkat. Kondisi ini sangat memperihatinkan," kata Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi saat membuka seminar bertajuk "Menyusui dan HIV" yang digelar Ikatan Konselor Menyusui Indonesia (IKMI), di Jakarta, Sabtu (30/8).

Menkes menjelaskan, tes HIV bagi ibu hamil sebenarnya telah dilakukan uji coba di sejumlah daerah epidemi HIV/AIDS sejak 2012 lalu. Dari 40.866 ibu hamil yang dites, sebanyak 1.264 diantaranya dinyatakan positif. Pada 2013, dari 100.840 ibu hamil yang dites, 3.153 orang dinyatakan positif, dan hingga Juni 2014 dari 27.888 ibu hamil yang dites, ada 278 orang yang ditemukan positif.

Data Kemkes 2013 menunjukkan, dari 1.630 bayi yang lahir dari ibu HIV positif, sebanyak 1.539 bayi berhasil diselamatkan sehingga tidak sampai tertular HIV. Sedangkan tahun ini hingga Juni 2014, dari 926 bayi yang lahir dari ibu HIV positif, hanya 54 bayi yang tertular. Sebagian besar bayi berhasil diselamatkan berkat pengobatan ARV sejak masa kehamilan.

"Tekad dan komitmen kita adalah tidak ada lagi bayi yang lahir positif HIV. Dengan semakin banyaknya ibu hamil yang ditest dan diberikan ARV, tentunya akan semakin banyak bayi yang bisa diselamatkan, sehingga generasi berikutnya bisa terbebas dari HIV/AIDS," kata Nafsiah menegaskan.

Sedangkan data anak usia 0-4 tahun yang diketahui tertular HIV, Kemenkes mencatat pada 2010 ada sekitar 390 anak. Jumlah itu meningkat menjadi 547 anak pada 2011 lalu pada 2012 jumlahnya menjadi 541 anak. Pada 2013 jumlahnya sudah mencapai 759 anak.

"Untuk data 2014, hingga Juni lalu. Sudah ada 370 anak usia 0-4 tahun yang tertular. Jika kita tidak melakukan tindakan secara serius, bukan tidak mungkin angkanya menjadi lebih dari 1.000 anak," ujar Menkes.

Hingga Februari 2014, Kemenkes telah memberi pengobatan antiretroviral (ARV) kepada 1.814 anak. "Perkiraan saya jumlah anak yang membutuhkan ARV masih banyak, tetapi sulit ditemukan. Karena tidak semua orangtua anaknya saat berobat," ujar Nafsiah.

Sedangkan kasus AIDS cenderung menurun dalam rentan waktu yang sama. Pada anak usia 0-4 tahun masing-masing ditemukan sebanyak 234 orang pada 2012, 154 orang pada 2013, dan 8 orang pada 2014. Sedangkan usia 5-14 tahun masing-masing sebanyak 79 orang pada 2012, 59 orang pada 2013, dan 1 orang pada 2014.

"Sedihnya sebagian dari anak-anak ini ketika ditemukan sudah dalam keadaan AIDS," kata Menkes.

TAKUT PERIKSA

Nafsiah mengungkapkan, masih banyak perempuan yang enggan melakukan
test HIV. Alasannya, kebanyakan takut diketahui suami, padahal tanpa sadar suamilah yang menularkan. Sebagian ibu hamil yang datang ke fasilitas kesehatan juga hanya untuk bersalin.

"Padahal dengan deteksi dini dan pengobatan ARV, penularan kepada bayi bisa dicegah seminimal mungkin," ujarnya.

Dijelaskan, risiko penularan ibu ke bayi mencapai 30 persen, atau 1 dari 3 ibu hamil bisa menularkan kepada bayi. Risiko penularan ini akan bertambah jika
kedua orang tua sama-sama positif, dan melakukan hubungan suami isteri
tanpa kondom. Padahal risiko ini bisa ditekan hingga 3 persen hanya dengan
ARV.

"Anak yang sudah terlanjur lahir dengan HIV, bisa diobati dengan ARV. Sayangnya, sebagian orang tua juga tidak mau membawa anaknya untuk diperiksa," kata Menkes.

Menurut Menkes, HIV/AIDS tidak lagi vonis mati. Buktinya, kematian
akibat AIDS terus menurun setiap tahun. Pada 2004 angka kematian
mencapai 16 persen dari seluruh kasus yang positif dan masuk pengobatan.
Angka ini mulai menurun ke 13,5 persen (2005), 10,9 persen (2006) sampai ke 1,6 persen pada 2013.

Menkes menambahkan, sebagian besar yang mendapat ARV bisa hidup dengan
kualitas baik. Namun, sekali ketularan HIV seumur hidup bisa menularkan.

Karena itu, setiap orang yang mengetahui dirinya positif bertanggung
jawab tidak menularkan kepada orang lain. Antara lain dengan mengubah
perilaku, seperti hubungan seks aman dengan menggunakan kondom, dan bila memakai alat suntik narkoba selalu yang steril.

Kemenkes sendiri sudah melakukan berbagai upaya pencegahan ibu ke anak
(PPIA). Di 26 rumah sakit sudah ada alat pemeriksaan deteksi dini HIV/AIDS. Semakin banyak pula rumah sakit yang bisa melakukan tes pada bayi baru lahir.

"Saat ini terdapat 236 puskesmas yang sudah punya tenaga terlatih unuk
pencegahan penularan ibu ke anak, di mana 166 di antaranya didukung
oleh Gobal Fund, dan 93 kabupaten kota melaksanakan intensifikasi PPIA
terintegrasi pada post natal care.

Kemkes juga menjamin stok ARV untuk anak aman, dengan empat jenis
rejimen, yaitu pediatric tiple FDC, pediatric dual FDC, ZDV 100 mg,
dan ABC 300 mg.

Menurut Menkes, semua upaya sudah dilakukan pihaknya dalam menurunkan angka HIV/AIDS di Tanah Air. Namun, masih tingginya perilaku seks berisiko di kalangan pria menjadi tantangan
besar. Diperkirakan ada 4,9 juta wanita yang berisiko terkena HIV, lantaran menikah dengan 6,7 juta pria yang diduga membeli seks.

ILMUNYA JADUL

Pada kesempatan yang sama Menkes Nafsiah mengingatkan para dokter agar pempuan dengan HIV/AIDS yang hamil tetap harus minum obat antiretroviral (ARV) selama masa kehamilannya. Ia juga diperbolehkan melahirkan secara normal, bukan tindakan caesar seperti dimasa lalu. Operasi caesar baru dilakukan jika ada indikasi medis.

"Dokter kandungan yang melarang perempuan dengan HIV/AIDS melahirkan secara normal itu ilmunya masih jadul," ujarnya.

Menurut Nafsiah, pada dasarnya ibu hamil yang positif HIV/AIDS harus diberikan obat ARV sedini mungkin dan selama masa kehamilannya. Dengan demikian, peluang terjadinya penularan dapat dicegah seminimal mungkin.

Untuk bayinya sendiri, jika tertular virus HIV baru bisa diberikan setelah umur 6 bulan. Semakin dini obat ARV diberikan, virusnya semakin mudah dikendalikan.

Berdasarkan Surat Edaran (SE) Menkes No GK/MENKES.001/I/2013, disebutkan, ibu hamil yang positif menderita HIV wajib diberi obat ARV dan layanan PDP (Pengobatan, Dukungan dan Perawatan. "Ini bukan lagi himbauan, tetapi saya katakan wajib minum obat ARV. Soalnya masih banyak dokter kandungan yang ngeyel," ucap Menkes menegaskan.

Begitupun dengan pemberian ASI eksklusif. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 33 Tahun 2012, ASI wajib diberikan pada anak secara ekslusif selama 6 bulan dan bisa diteruskan hingga selama-lamanya 2 tahun. Hal itu penting untuk meningkatkan antibodi dalam tubuh anak.

"ASI itu tidak bisa digantikan oleh susu formula secanggih apapun. Karena ASI itu diciptakan untuk bayi, sedangkan susu sapi untuk anak sapi. Berikan ASI ekslusif selama 6 bulan setelah itu beri makanan tambahan yang bergizi agar daya tahan tubuhnya terbangun," ucap Nafsiah.

Ia kembali menegaskan, siapapun yang menolak memberikan ASI kepada bayinya, berarti tak menaati peraturan. Bila dalam kondisi tertentu ibu memilih pengganti ASI, maka ia berhak mendapatkan konseling makanan bayi yang memenuhi persyaratan teknis.

"Bayi diberikan susu formula jika ada indikasi tertentu, misalkan ibunya meninggal saat persalinan. Tetapi jika ASI-nya hanya keluar sedikit, biarkan anak menyedotnya. Karena tindakan itu justru merangsang produksi ASI," katanya.

Menkes menambahkan, anjuran pemberian ARV bagi ibu hamil dengan HIV/AIDS dan menyusui, juga selaras dengan rekomendasi badan kesehatan dunia WHO.

"Jika para dokter tidak mau mendengarkan omongan menkes, paling tidak mematuhi anjuran WHO," ucap Nafsiah menandaskan. (TW)

{jcomments on}

Wamenkes: ''Tidak Semua Pemda Prioritaskan Bidang Kesehatan''

PEMERINTAH membuat kebijakan mengirimkan tenaga perawat ke Jepang dengan mekanisme G to G yang tertuang dalam Indonesia Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA). Ironisnya, distribusi perawat di daerah masih bermasalah, karena tak terpusat di kota-kota besar.

Wakil Menteri Kesehatan RI, Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc, PhD mengatakan bahwa jumlah perawat di Indonesia sudah cukup, tetapi masalahnya hanya kemampuan perekrutan di Puskesmas dan Rumah Sakit di daerah yang masih kurang.

"Jumlah perawat cukup. Tetapi masalahnya karena menyangkut kemampuan daerah untuk merekrutnya. Tetapi, kalau jumlah perawat apalagi bidan itu malah menurut saya berlebih," ujarnya di Gedung Kemenkes, Kuningan, Jakarta Pusat, Jumat (29/8/2014).

Menurut Ali Ghufron, menyangkut soal perekrutan tenaga kesehatan, termasuk perawat di Puskemas dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) merupakan tanggungjawab Pemerintah Daerah (Pemda). Ali Ghufron mengatakan bila permasalahannya adalah tidak semua Pemda memiliki prioritas di bidang kesehatan, sehingga timbul masalah pada perekrutan tenaga-tenaga kesehatan, termasuk perawat.

"Tanggungjawab untuk merekrut tenaga kesehatan di Puskesmas dan Rumah Sakit Daerah itu sebenarnya Pemerintah Daerah, tetapi disitulah mulai ada masalah. Meskipun sudah mulai banyak Pemda yang focus untuk masalah ini, tetapi masih belum semuanya menempatkan bidang kesehatan sebagai prioritas," tuturnya.

"Makanya kita lihat nanti pemerintah baru ini, karena kartu Indonesia sehat dan program kesehatan menjadi prioritas, itu kita punya harapan dan senang," tutupnya.

sumber http://health.okezone.com