Program Kesehatan Seharusnya Terintegrasi

Pengalaman selama bertahun-tahun di dunia kesehatan sebagai dokter menyebabkan Dr. Hj. Karlina, MARS bersinggungan langsung dengan masalah kesehatan.

"Sebagai dokter, saya banyak menemui permasalahan di bidang kesehatan. Banyaknya permasalahan disebabkan karena program kesehatan banyak yang bersifat jangka pendek, seharusnya program kesehatan bersifat jangka panjang dan terintegrasi, baik dari sisi kebutuhan masyarakat di bidang kesehatan dan bidang lain yang yang berkaitan dengan kesehatan itu sendiri," kata Karlina di Jakarta, Rabu (26/3).

Masalah lain yang sering ditemukan Karlina yakni adanya program-program pemerintah yang tidak harmonis antara satu bidang dengan bidang lainnya.

Sebagai contoh, antara bidang kesehatan dan pangan. Sumber kesehatan berasal dari pangan, seyogyanya pemerintah bisa mewujudkan masyarakat dengan pola makan yang baik yang bergizi terjangkau dan sehat, tentu saja itu bukan tugas dari bidang kesehatan saja tapi bidang lain, tetapi karena hal tersebut berkaitan dengan kesehatan, maka program yang dibuat seharusnya saling terintegrasi.

Karlina menyadari perlu ada perubahan dalam sistem kesehatan di Indonesia. "Untuk melakukan perubahan tentunya saya tidak bisa berjalan sendiri, perlu terjun ke politik untuk dapat melakukan perubahan secara nyata dan efektif," kata Karlina. (db)

sumber: harianterbit.com

 

Peringatan Kesehatan pada Bungkus Rokok Dinilai Rugikan Produsen

Rencana penerapan peringatan kesehatan pada bungkus rokok dengan menggunakan gambar oleh pemerintah seperti yang diatur dalam PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, menuai kritik.

Direktur Industri Minuman dan Tembakau Kementerian Perindustrian Enny Ratnaningtyas mengakui, metode tersebut (picture warning) akan menguras kas para produsen rokok.

"Yang dikhawatirkan adalah produsen rokok kecil yang terbebani biaya produksi bungkus rokok baru," ujarnya, di Jakarta, Selasa (25/03/02014).

Menurutnya, pemasangan foto organ tubuh yang rusak akibat rokok perlu persiapan secara matang. Desain dan jenis gambar yang harus dimuat kata dia, hingga kini masih belum diputuskan. "Sempat ada wacana gambarnya harus bersifat edukatif dan tidak menyeramkan," katanya.

Sementara itu, peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng berpendapat, penerapan peringatan kesehatan bergambar (graphic health warning), diduga ada upaya untuk membebani biaya produksi industri rokok melalui ketentuan ini.

"Ada upaya pemerintah untuk menutup kesempatan industri rokok sebagai industri legal mensosialisasikan dan mengekspresikan produk yang dilindungi Undang-undang ini," kata Salamuddin.

Menurutnya, model peringatan bergambar mestinya bertujuan untuk mengedukasi masyarakat, yakni dengan gambar yang tidak bersifat verbal, tidak mensimplifikasi dan menggeneralisasi sebab-sebab munculnya penyakit seolah akibat asap rokok.

"Ini tidak sosiologis dan faktual karena gambar-gambar 'korban' akibat tembakau bukan gambar 'korban' konsumen rokok yang diproduksi dan diedarkan di Indonesia," pungkasnya.

Salamuddin menambahkan, terdapat ambigu dalam penerapan peringatan kesehatan bergambar (graphic health warning) antara level pabrikan besar dan kecil.

Yang mana kata dia, pabrikan kecil mendapatkan previlage dalam penerapan peringatan kesehatan bergambar. Sehingga prinsip kesehatan tidak terlampaui lantaran mengandung diskriminasi perlakuan. (put)

sumber: news.okezone.com

 

Indonesia Akan Perluas Akses Penanggulangan TB

Meski angka penderita Tuberkulosis (TB) di Indonesia telah berkurang sejak 1990, namun Kementerian Kesehatan RI tetap berharap bahwa jumlah penderita TB bisa kembali dikurangi dengan cara perluasan akses.

Seperti diungkapkan oleh Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Dirjen PP dan PL) Kemenkes RI, Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama bahwa dalam pencapaian Millennium Development Goalsl (MDGs), program pengendalian TB diarahkan kepada universal access.

"Peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan DOTS yang lebih luas dengan tujuan menjangkau seluruh kasus TB

yang ada di masyarakat termasuk layanan untuk TBHIV, TBMDR, dan TB Anak," kata Tjandra, seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Senin (24/3/2014).

Menurut Tjandra, peningkatan penjangkauan layanan TB ini menggunakan penekanan pada pendekatan penguatan sistem yang dicerminkan dalam 6 pilar pelaksanaan penguatan Kemitraan Public Private Mix, yaitu:

Pilar 1

Penguatan layanan Direct Observed Treatment Short-Course Chemotherapy (DOTS) di Puskesmas yang meliputi penguatan sistim surveilans berbasis web, peningkatan kapasitas manajemen informasi untuk tindak lanjut, peningkatan kualitas layanan TB berkualitas, peninghatan cakupan TBHIV, peningkatan penjangkauan kasus pada wilayah daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan, peningkatan rujukan kasus, peningkatan pelacakan kasus dan upaya promotif preventif lainnya.

Pilar 2

Penguatan layanan di seluruh rumah sakit baik pemerintah maupun swasta dengan memasukkan strategi DOTS sebagai salah satu komponen penilaian untuk Akreditasi Rumah Sakit. Selain itu dari sisi pelayanan telah disusun Pedoman Nasional Pelayanan

Kedokteran TB yang merupakan upaya agar seluruh pemberi pelayanan kesehatan harus memberikan pelayanan TB sesuai standar dan menjamin bahwa pasien akan ditangani dengan tatalaksana yang benar mulai diagnosis, pengobatan, pemantauan, dan evaluasi kesembuhan.

Pilar 3

Penguatan layanan DOTS di dokter praktek swasta (DPS) dan spesialis. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan penerapan International Standars for TB Care (ISTC) dan penerapan sistem rewards dan Sertifikasi untuk DPS, konsepnya adalah untuk ke depannya hanya dokter yang mempunyai kompetensi sertifikasi TB saja yang diijinkan untuk mengobati pasien TB, sedangkan dokter yang belum tersertifikasi hanya akan menjaring suspek saja dan mengirimkan ke fasyankes DOTS.

Untuk pendekatan ini maka Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menjadi leading sector. Selain itu juga dilakukan beberapa inisiatif baru berupa uji pendahuluan yang didukung oleh beberapa donor yang melibatkan praktisi swasta di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Untuk itu, Program Nasional Pengendalian TB bekerjasama dengan organisasi profesi (PDPI).

Luaran yang diharapkan adalah didapatkannya sistem pelibatan DPS dalam Program Pengendalian TB dan akan diperluas ke provinsi lain. Selain itu, Kementerian Kesehatan (Ditjen PP dan PL) juga sudah bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan (Ditjen Pendidikan Tinggi) dengan meluncurkan Pedoman Nasional Penyusunan Modul TB di Kurikulum Fakultas Kedokteran serta sudah disosialisasikan kepada 70 Fakultas Kedokteran di Indonesia.

Pilar 4

Diagnostik TB adalah dasar kualitas dari program pengendalian TB. Pendekatan yang dilakukan adalah penguatan jejaring mutu eksternal dan internal pemeriksaan diagnostik TB sebagai bentuk dari pemantapan mutu eksternal Laboratorium. Selain itu juga ditunjuk 3 laboratorium rujukan nasional TB yang berfungsi sebagai : rujukan Mikroskopis TB (BLK Jawa Barat), rujukan Biakan dan uji Kepekaan (BBLK Surabaya) dan rujukan biomolekuler (Lab Mikrobiologi FK UI). Selain itu juga mulai digunakan berbagai inovasi dan inisiatif baru dalam diagnosis TB yaitu penggunaan alat diagnosis cepat yaitu Xpert MTB/Rif, hingga akhir September

2013 telah digunakan di 17 lokasi, dan akan ditambahkan 24 di beberapa tempat yang lain, didukung bantuan tehnis IMVS sebagai Laboratorium Supra National.‎

Pilar 5

Penggunaan obat anti TB (OAT) dan penggunaan secara rasional. Untuk upaya pencegahan kejadian TB MDR maka harus didorong untuk penggunaan OAT secara rasional.

Untuk pengelolaan logistik obat dan uji kualitasnya, Kemenkes melakukan prakualifikasi WHO untuk OAT serta mendorong keluarnya regulasi penggunaan OAT di pasaran, pelaksanaan post-marketing surveillance untuk TB, sertifikasi PPOM (Pusat Pemeriksaan Obat dan Makanan) sebagai laboratorium untuk quality assurance obat TB. Kegiatan ini melibatkan BPOM serta Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).

Pilar 6

Penguatan Sistem Komunitas. Komunitas adalah kekuatan yang besar dalam pengendalain TB, salah satu wujud nyata adalah mendukung komunitas untuk menjadi advokator untuk peningkatan komitmen pendanaan, peningkatan awareness masyarakat, mobilisasi sosial serta pelayanan TB di wilayah spesifik. Hal yang nyata didapatkan adalah terbentuknya beberapa

komunitas pasien yang berfungsi sebagai pendukung bagi sesama pasien. Contoh paguyuban adalah PAMALI TB, JAPETI ataupun PETA dll.

Sebelumnya, setiap 24 Maret, diperingati di seluruh dunia sebagai World Tuberculosis Day atau Hari Tuberkulosis sedunia. Tanggal ini dipilih karena pada tanggal tersebut, pendiri modern bakteriologi Robert Koch, mengumumkan bahwa dia berhasil menemukan kuman penyebab tuberkulosis. Dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa ada 3 juta orang yang tidak tahu bahwa dirinya TB. Setiap tahun juga ada 9 juta orang terkena TB.

sumber: health.liputan6.com

 

24 Juta Penduduk Indonesia Terinfeksi Hepatitis B

Kementerian Kesehatan mencatat sekitar 24 juta penduduk Indonesia pernah terinfeksi penyakit hepatitis B.

"Jadi, penyakit ini jangan diabaikan karena dapat menjadi ancaman di mana hasil riset kesehatan dasar menunjukkan 9,7 persen penduduk Indonesia pernah terinfeksi," kata Sekretaris Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan M Subuh di Pontianak, Jumat (21/3).

Sementara berdasarkan data World Health Organization (WHO), dari 8 miliar lebih penduduk dunia, 2 miliar di antaraya telah terinfeksi Hepatitis B.

Sebagian di antara mereka yang terinfeksi sembuh tetapi dua juta lainnya akan menjadi pengidap kronis dan kanker hati. Sedangkan untuk Hepatitis C yang penularannya lewat darah, sekitar 170 juta jiwa yang pernah terinfeksi.

Di Indonesia, 90 persen pengidap HIV/AIDS menggunakan jarum suntik sudah bisa dipastikan terkena hepatitis C.

Subuh menambahkan, sudah sewajarnya di Indonesia mulai dari pemerintah pusat, provinsi dan daerah agar memperhatikan penyakit ini.

"Karena sulit dideteksi sehingga kewajiban kita melindungi masyarakat supaya tidak tertular," kata M Subuh yang juga mantan Kadis Kesehatan Provinsi Kalbar itu.

Ia melanjutkan, ada sejumlah upaya yang sudah dilakukan pemerintah pusat untuk menangani penyakit tersebut. Tahun lalu misalnya, sudah dilakukan uji lapangan di Provinsi DKI Jakarta. Sebanyak lima ribu orang telah diambil darahnya untuk diperiksa.

"Tahun ini akan lebih banyak dan melibatkan beberapa provinsi," ujar dia.

Penanganan hepatitis pembiayaan murni terbesar dari APBN. Pemerintah pusat mengapresiasi Kalbar yang mengalokasikan dana sebesar Rp400 juta untuk penanganan hepatitis.

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalbar Andi Jap mengakui Kalbar termasuk provinsi yang harus waspada atas ancaman Hepatitis B. "Sekarang kita harus sama-sama punya komitmen, hepatitis harus jadi program prioritas di Kalbar," kata Andi Jap.

sumber: www.beritasatu.com

 

Kemkes: 14 Provinsi Miliki Beban Kusta Tinggi

Kementerian Kesehatan (Kemkes) mencatat, 14 provinsi di Indonesia masih memiliki beban kusta yang tinggi dengan angka penemuan kasus baru lebih dari 10 per 100.000 penduduk atau lebih dari 1.000 kasus per tahun.

"Kusta termasuk sebagai 'neglected tropical disease' (penyakit daerah tropis yang terabaikan) karena jumlahnya sudah sedikit. Tetapi masih sulit menurunkannya ke titik nol," kata Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes Tjandra Yoga Aditama dalam temu media di Jakarta, Kamis (20/3).

Ke-14 provinsi dengan beban tinggi itu adalah Aceh, Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Papua Barat, Papua, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DKI Jakarta.

Indonesia menduduki peringkat ketiga untuk epidemiologi kusta dengan penemuan kasus sebanyak 18.994 kasus pada 2012.

Pada tahun yang sama, India masih merupakan negara dengan penemuan kasus kusta terbanyak yaitu 127.295 kasus kemudian Brasil dengan 33.995 kasus.

Tjandra memaparkan ada empat hal yang menghambat penanggulangan kusta di Indonesia, yaitu kondisi geografis yang merupakan negara tropis yang cocok bagi perkembangan kusta, penderita kusta juga kebanyakan berasal dari masyarakat ekonomi rendah.

Selain itu, Tjandra mengakui bahwa menurunkan jumlah kasus hingga ke tirik nol memang sulit untuk dilakukan.

"Lebih gampang menurunkan kasus dari jumlah banyak ke jumlah sedikit daripada menurunkan jumlah sedikit ke titik nol," ujarnya.

Sedangkan hambatan keempat dalam penanggulangan kusta adalah masih adanya stigma dan diskriminasi terhadap penderita kusta di masyarakat yang mencegah para penderita untuk mencari pengobatan.

sumber: www.beritasatu.com

 

Tuberkolosis Masih Jadi Ancaman Kesehatan Indonesia

Indonesia masih menduduki peringkat keempat sebagai negara dengan beban tuberkulosis (TB) terbesar di dunia. Setiap tahunnya, 730 ribu kasus tuberkulosis terjadi di Indonesia. Bahkan setiap jam, 8 orang meninggal dunia akibat penyakit TB.

Sayangnya, hingga kini masih banyak orang yang menganggap bahwa penyakit TB tidak cukup berbahaya dibanding kanker atau penyakit jantung.

Padahal, tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri tuberkulosis, umumnya Myobacterium tuberculosis. TB menular melalui udara, sewaktu penderita batuk, bersin, meludah atau berbicara. Dari percikan dahak tersebut, mereka yang berada di sekitar penderita, bisa ikut terserang penyakit ini.

"Masalahnya, orang kita itu kalau batuk enggak pernah mau periksa ke dokter. Padahal bisa saja dia terserang TB," ujar Dr Arifin Nawas, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia dalam acara "Soho #BetterU: Hari Tuberkulosis Sedunia" di Hotel Akmani, Jakarta, Rabu, 19 Maret 2014.

Penyakit TB biasanya memang diawali dengan batuk yang berkepanjangan, lalu diikuti dengan demam tinggi, menggigil, kerap berkeringat tanpa sebab di malam hari, nafsu makan yang berkurang hingga menurunnya berat badan.

Pada kebanyakan kasus, TB biasanya menyerang paru-paru dengan gejala yang lebih signifikan seperti nyeri pada bagian dada, batuk lebih dari 2 minggu dan disertai darah. Jika sudah memasuki tahap ini, pasien biasanya baru melakukan pengecekan pada dokter.

"Kalau sudah masuk tahap ini, pasien sudah harus melakukan pengobatan rutin. Minimal obat harus diminum rutin selama 6 bulan dan tidak boleh putus," ujarnya.

Padahal menurutnya jika terdeteksi lebih awal, TB bisa dicegah dengan meningkatkan sistem imun. Sebab, pada dasarnya bakteri TB yang sudah masuk ke dalam tubuh tidak dapat dihilangkan secara permanen. Bakteri hanya akan "tertidur" dan tidak menyebabkan penyakit, selama sistem daya tahan tubuh penderitanya tetap tinggi. (sj)

sumber: life.viva.co.id

 

Menteri Kesehatan Yakin SBY Akan Teken Konvensi Tembakau

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi tak ingin berandai-andai ihwal sikapnya jika kelak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak menyetujui rencana ratifikasi konvensi internasional tentang pengendalian tembakau (FCTC). "Jangan kalau-kalau dulu, deh," kata Nafsiah di kantor Wakil Presiden RI, Jakarta, Selasa, 11 Maret 2014.

Nafsiah justru tetap berharap SBY menyetujui rencana ratifikasi itu. "Sampai saat ini saya sangat berharap bahwa ratifikasi itu akan ditandatangani oleh beliau (SBY) karena ini merupakan warisan pemerintahan beliau," ujarnya. "Saya masih optimistis, kok."

Menurut dia, "bola" rencana ratifikasi itu sepenuhnya di tangan Presiden, bisa ditolak atau diterima. Nafsiah pun memahami jika saat ini SBY tengah melihat dan mempertimbangkan semua aspek sebelum mengambil keputusan ihwal rencana ratifikasi tersebut.

Dia menyatakan bakal menunggu keputusan SBY lantaran segala pertimbangan yang tengah dijalani merupakan hak prerogatif Presiden. "Tentu ada hal-hal yang Presiden tahu, tapi kami tidak tahu," kata Nafsiah. "Tugas kami memberi informasi kepada Presiden sehingga bisa mengambil keputusan terbaik."

Sebelumnya, Sekretaris Kabinet Dipo Alam mengatakan Presiden SBY belum menyetujui rencana ratifikasi itu. "Sejauh ini peraturan presiden mengenai ratifikasi itu belum saya terima. Soal ratifikasi FCTC belum kami terima," kata Dipo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat, 7 Maret 2014.

SBY, kata Dipo, bakal mempertimbangkan sejumlah hal sebelum menyetujui ratifikasi ini lantaran masalah tersebut menyangkut industri rokok yang sangat penting bagi perekonomian nasional. "Saya kira kami tidak akan gegabah untuk itu," ujar Dipo.

sumber: www.tempo.co

 

Harga obat turun tergantung kemauan politik

Penderita kanker di negara ini mendapat beban vonis dua kali. Selain usia dipastikan berakhir oleh dokter saat stadium mencapai tahap lanjut, vonis kedua adalah mahalnya ongkos harus dikeluarkan untuk obatnya.

Ambil contoh harga sorafenib, zat kimia penting bagi penderita kanker hati atau ginjal supaya perkembangan sel jahat berkurang. Seorang pasien butuh hingga Rp 50-an juta menebus obat itu buat konsumsi rutin sebulan.

Itu di luar biaya kemoterapi Rp 2-6 juta sekali sesi. Tak salah bila Yayasan Kanker Indonesia melansir kira-kira satu penderita butuh biaya Rp 102 juta per bulan untuk mempertahankan hidupnya.

Komponen obat jadi salah satu paling membebani. Hal itu dibenarkan oleh Marius Widjajarta, dokter masuk tim perumus harga obat Kementerian Kesehatan. "Obat riset itu mencakup 20 persen dari yang beredar di pasaran. Rata-rata memang untuk penyakit-penyakit berat, kanker, HIV, flu burung, dan semacamnya. Harganya mahal karena ada paten yang harus dibayarkan pada perusahaan sebagai penemunya," ujarnya kepada merdeka.com awal bulan ini.

Akan tetapi kondisi ini bukannya tanpa jalan keluar. Khususnya supaya harga obat lebih terjangkau bagi penderita penyakit kronis. Akar dari mahalnya obat paten adalah Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS). Ini beleid perlindungan hak paten produsen obat hasil riset wajib dipatuhi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Hal itu disampaikan pengamat isu kesehatan dari lembaga swadaya Indonesia for Global Justice, Rachmi Hertanti. Dia meyakini beban ongkos paten menjerat itu masih bisa dilobi pemerintah.

Itu berkaca pada artikel nomor 31 dari ketentuan WTO mengenai TRIPS. "Setiap anggota bebas menggunakan metode sesuai dalam mengimplementasikan ketentuan terdapat dalam perjanjian sesuai ketentuan hukum mereka miliki."

"Artinya suatu negara dibolehkan memproduksi atau mengimpor obat dari pihak ketiga, tidak harus dari pemegang paten, jika ada suatu situasi-situasi yang dianggap darurat," ujar Rachmi. "Sehingga harganya bisa jadi lebih murah."

Pemerintah bukannya tidak mengetahui celah hukum itu. Terbukti pada Oktober 2012, Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan keputusan presiden mengesampingkan paten dari tujuh obat HIV/AIDS dan hepatitis C dimiliki oleh Merck & Co, GlaxoSmithKline, Bristol-Myers Squibb, Abbott, dan Gilead.

Dampaknya segera dirasakan pasien karena harga obat paten langsung menjadi lebih murah. Contohnya beban belanja lopinavir dan ritonavir dibutuhkan penderita HIV memperpanjang hidupnya menjadi tak sampai Rp 100 ribu buat kebutuhan sebulan.

Rachmi menyatakan pemerintah bisa mengupayakan harga obat paten lain diturunkan meniru kebijakan buat penderita HIV. "Penyakit kanker atau jantung, sebenarnya hampir 70 persen dari penyebab kematian di negara kita, butuh kebijakan serupa," tuturnya.

Apalagi negara di kawasan sudah menjalankan negosiasi TRIPS. Ambil contoh Thailand pada 2008 menerbitkan lisensi mengabaikan paten buat beberapa jenis obat kanker. Hasilnya, harga docetaxel dan letrozol turun 24 kali lipat dari harga normal. Negeri Gajah Putih ini juga mengabaikan paten buat clopidogrel biasa dikonsumsi penderita kanker paru sehingga harganya turun 91 persen dari pasaran.

India lebih agresif lagi mengabaikan paten. Data Organisasi kemanusiaan medis internasional Medecins Sans Frontieres/Dokter Lintas Batas (MSF) menunjukkan negara itu mengabaikan paten atas sorafenib. Obat kanker itu dari awalnya seharga hampir Rp 50 juta, turun drastis menjadi hanya Rp 1,7 jutaan.

Negeri Sungai Gangga, melalui Mahkamah Agung , memaksa perusahaan obat Bayer asal Jerman pada 2012 melepas hak eksklusif paten atas bermacam obat kanker.

"Thailand dan India nyatanya berani, ini perkara kemauan politik saja," kata Rachmi menegaskan.

Masalahnya, pemerintah akhir tahun lalu justru memperlemah daya saing industri farmasi lokal melalui revisi Daftar Negatif Investasi (DNI) untuk sektor farmasi. Perusahaan luar tadinya hanya boleh menguasai 75 persen saham, kini diperbesar jatahnya menjadi 85 persen.

Situasi ini akan membuat mereka semakin dominan dibanding pabrik obat lokal. Sebab, 24 perusahaan asing beroperasi di Indonesia menguasai 80 persen pasar obat paten.

Rachmi mengingatkan kesuksesan India dan Thailand disokong oleh kesiapan farmasi lokalnya memproduksi obat tersebut. Artinya, tanpa ada industri dalam negeri kuat, pengabaian TRIPS jadi percuma. "Kalau asing semakin diperlonggar masuk ke Indonesia, dia harus diwajibkan kerja sama transfer teknologi dengan BUMN farmasi," usulnya.

Marius punya gagasan lain lagi. Dia melihat beberapa obat bermerek dikuasai farmasi asing patennya sudah kadaluarsa. Artinya, status mereka hanyalah generik bermerek. Obat-obat semacam itu, misalnya Topamax, dibutuhkan penderita epilepsi, wajib dikontrol Kementerian Kesehatan.

Dia mengaku punya data generik bermerek adalah satu satu sektor harganya gila-gilaan tanpa pernah dikontrol. "Obat merek itu harganya dilepas begitu saja. Data saya ada yang 40-60 kali lipat dari harga generiknya," kata Marius.

Ini juga perkara kemauan politik. Kenyataannya, Marius melihat data harga obat dipasok industri untuk program pemerintah dilepas hanya 3-4 kali dari biaya produksi. "Mekanisme pengendalian harga jual harus dibuat," kata Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia ini.

sumber: www.merdeka.com