Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) menandai pencapaian tranplantasi ginjal dengan teknik laparoskopi yang ke-100 pada Rabu (5/1). Namun pencapaian ini masih jauh dari harapan dan kebutuhan di lapangan, karena saat in ada banyak tantangan yang menyebabkan transplantasi ginjal masih terbatas di Indonesia.
Dalam jumpa pers di RSCM, Guru Besar Dept. Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM, Prof. Dr. dr. Endang Susalit, SpPD-KGH mengatakan bahwa perkembangan transplantasi ginjal di Indonesia lambat jika dibandingkan dengan negara lain. Beberapa tantangan dalam perkembangan transplantasi ginjal di Indonesia adalah transplantasi ginjal baru dilaksanakan dari donor hidup, sedangkan transplantasi dari donor jenazah belum terlaksana. Jenazah dalam hal ini diartikan dari orang yang telah mengambil keputusan atau diijinkan keluarganya untuk mendonor dengan jantung masih berdenyut, namun fungsi otak telah mati.
Selain itu, sebagian besar masyarakat Indonesia masih belum mengenal transplantasi organ sehingga masih apatis. Transplantasi komersial di Indonesia pun dilarang sehingga hanya pasien yang mampu saja yang berusaha untuk mendapatkan ginjal dari luar negeri. Harga obat imunosupresif yang mahal juga menghambat upaya pengembangan transplantasi ginjal.
Ketua Departemen Urologi RSCM-FKUI, Dr.dr. Nur Rasyid, SpU menjelaskan lebih lanjut, saat ini departemen Urologi RSCM sebenarnya berkeinginan menambah frekuensi transplantasi ginjal, namun terkendala jumlah rungan rawat dan kamar operasi. Keberadaan sebuah pusat transplantasi (transplant center) seharusnya bisa menjadi solusi.
Namun pemerintah belum memberikan perhatian dan dana untuk sebuah transplant center, karena akan lebih fokus dengan staf yang lebih terkoordinasi kerjanya. "Idealnya seminggu bisa lima kali transplantasi. Tapi targetnya saat ini 100 per tahun alias dua transplantasi seminggu. Di hari biasa untuk pasien umum, untuk pemerintah kita korbankan hari libur agar pasien kasus lain tidak tertunda dan harus antri," kata Nur, ditemui di RSCM, Jakarta, pekan lalu.
Undang-Undang (UU) alias peraturan yang belum memfasilitasi soal transplantasi ini sangat disayangkan menghambat niat mereka yang ingin menjadi donor organ. Sebagai contoh pada tahun 2002, seorang residivis berniat menyumbangkan organ tubuhnya setelah dihukum mati. Namun hal itu batal terlaksana karena tidak ada aturan yang menaungi, sementara para dokter harus bekerja sesuai aturan yang ada. "Nggak ada yang back up kita. Di negara lain, sudah ada undang-undangnya. Jika ada orang yang menyatakan mau mendonorkan, nggak ada orang yang berhak keberatan," demikian ungkap Nur Rasyid.
Transplantasi ginjal dilaksanakan pertama kali di Indonesia pada tahun 1977. Sebelum krisis moneter tahun 1998, transplantasi ginjal dilakukan di pusat transplantasi di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan Medan.
Pada saat ini transplantasi ginjal dilakukan di Jakarta, Semarang, dan Malang. Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan Pernefri dan Ikatan Urologi Indonesia, telah membuat work shop dan pelatihan transplantasi ginjal bagi pelaksana transplantasi ginjal dari beberapa rumah sakit propinsi di Indonesia.
Pelaksanaan transplantasi donor jenazah di Indonesia masih menjumpai kendala meskipun sudah ada Kesepakatan Kemayoran, sebagai salah satu hasil Simposium Nasional II Yagina dan Pernefr tahun 1995 di Jakarta. Kesepakatan tersebut menyatakan bahwa semua agama yang diakui di Indonesia menerima transplantasi organ tubuh baik transplantasi dengan donor hidup maupun donor jenazah.
Selain itu, UU RI tentang kesehatan No. 36 tahun 2009 memungkinkan penggunaan donor jenazah di Indonesia. Di Indonesia penggunaan organ dari donasi komersial dilarang, dan menurut UU Kesehatan RI dianggap sebagai tindakan yang melanggar hukum. (*/Ven)
sumber: www.gatra.com