Kesehatan, sekilas terlihat sebagai hal yang sepele. Namun, saat sakit mendera, barulah terasa kesehatan mahal harganya. Biaya rumah sakit serta dana yang harus dikeluarkan untuk mempertahankan kesehatan setelahnya tidaklah sedikit.
Padahal, banyak hal yang bisa mengganggu kesehatan seseorang. Mulai dari kurangnya waktu tidur hingga pola makan yang berantakan. Sayangnya, kewaspadaan masyarakat dunia tentang kesehatan sangatlah kurang. Tidak hanya itu, masih banyak masalah wabah kesehatan dan penyakit langka di dunia yang belum punya solusi. Sebut saja ebola hingga virus Zika yang kini tengah mewabah di Amerika Selatan.
Untuk itulah, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menggelar Hari Kesehatan Dunia yang dipandang sebagai kesempatan menarik perhatian dunia untuk menyadari masalah-masalah besar kesehatan global setiap tahunnya.
Adapun, Hari Kesehatan Sedunia ini pertama kali dirumuskan pada tahun 1948 lewat Majelis Kesehatan Dunia Pertama. Majelis ini memutuskan merayakan Hari Kesehatan Dunia pada tanggal 7 April setiap tahunnya mulai 1950.
Setiap tahunnya, Hari Kesehatan Sedunia mengangkat tema yang berbeda. Tahun ini, diabetes menjadi tema besar yang diusung WHO. Hal tersebut muncul dari kekhawatiran akan berlipat gandanya angka pengidap diabetes di dunia.
Kini, pengidap diabetes berjumlah nyaris 422 juta orang, atau bertambah empat kali lipat dibanding tahun 1980. Angka tersebut diprediksi terus melonjak hingga lebih dari dua kali lipat hingga 20 tahun mendatang.
Prihatin dengan angka tersebut, WHO pun mengajak seluruh orang di dunia untuk bersama-sama mencegah diabetes.
Hari Peduli Autisme Sedunia
Di sisi lain, pekan lalu, dunia juga baru saja merayakan Hari Peduli Autisme Sedunia.
Badan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 18 Desember 2007 memutuskan tanggal 2 April diperingati sebagai Hari Peduli Autis sedunia.
Tanggal ini pun sontak menjadi momen penting khususnya bagi orangtua penyandang autisme, para pemerhati autisme serta simpatisan yang peduli terhadap masalah autisme.
Kata autis berasal dari bahasa Yunani "auto" berarti sendiri. Kata ini mengacu pada seseorang yang menunjukkan gejala 'hidup' dalam dunianya sendiri.
Pada umumnya penyandang autisme mengacuhkan suara, gerakan ataupun kejadian yang terjadi di sekelilingnya. Jika ada reaksi, biasanya justru tidak sesuai dengan situasi. Seringkali, tidak ada reaksi sama sekali. Penyandang autisme umumnya menghindari atau tidak merespon terhadap kontak sosial orang-orang di sekelilingnya.
Pemakaian istilah autis kepada penyandang diperkenalkan pertama kali oleh Leo Kanner, psikiater dari Harvard pada tahun 1943 berdasarkan pengamatan terhadap 11 penyandang yang menunjukkan gejala kesulitan berhubungan dengan orang lain, mengisolasi diri, punya perilaku yang tidak biasa dan cara berkomunikasi yang aneh.
Penyebab autisme adalah gangguan neurobiologis yang mempengaruhi fungsi otak sedemikian rupa, sehingga anak tidak mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara efektif.
Gejala yang sangat menonjol adalah sikap anak yang cenderung tidak mempedulikan lingkungan dan orang-orang di sekitarnya, seolah menolak berkomunikasi dan berinteraksi, serta seakan hidup dalam dunianya sendiri.
Karena anak autistik seolah 'terputus' dengan dunia di sekitarnya, masyarakat awam banyak yang menganggap kelainan itu sebagai gangguan jiwa.
Padahal, autisme bukanlah problem mental. Melansir laman autisme.or.id, autisme merupakan gangguan neurologi pervasif yang terjadi pada aspek neurobiologis otak dan mempengaruhi proses perkembangan anak. Akibat gangguan ini anak tidak dapat secara otomatis belajar untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya, sehingga ia seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri.
Hingga saat ini, penyebab gangguan spektrum autisme ini belum dapat ditetapkan. Peneliti menyatakan bahwa penyebab gangguan perkembangan ini merupakan interaksi antara faktor genetik dan berbagai paparan negatif yang didapat dari lingkungan.
Indonesia bukanlah negara yang terbebas dari problem autisme. Malah, angkanya terus bertambah selama 10 tahun terakhir. Guna mengatasi hal tersebut, kini semakin banyak terapi untuk membantu meningkatkan kualitas hidup individu autistik.
Penanganan yang sudah tersedia di Indonesia antara lain adalah terapi perilaku, terapi wicara, terapi komunikasi, terapi okupasi, terapi sensori integrasi, pendidikan khusus, penanganan medikasi dan biomedis, diet khusus.
Penanganan lain seperti integrasi auditori, oxygen hiperbarik, pemberian suplemen tertentu, sampai terapi dengan lumba-lumba juga sudah tersedia di beberapa kota besar. (les)
http://www.cnnindonesia.com