Menata Jaminan Kesehatan

Kesehatan menjadi salah satu indikator pembangunan manusia, selain pendidikan dan ekonomi. Oleh karena itu, banyak negara yang menyelenggarakan jaminan kesehatan untuk warga negara.

Faktanya negara-negara menerapkan kebijakan dan skema berbeda-beda dalam menjamin dan memelihara kesehatan warga negara yang disesuaikan dengan kondisi ekonomi negara tersebut. Indonesia memilih skema asuransi sosial untuk menjamin kesehatan warga negara.

Sesuai dengan UU Nomor 24/2011, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan atau BPJS Kesehatan menjadi pengelola asuransi sosial itu. Ada mekanisme subsidi silang di dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan berbasis asuransi sosial. Yang kaya menyubsidi yang miskin dan yang sehat menyubsidi yang sakit.

Sesuai dengan undang-undang, seluruh warga negara wajib menjadi peserta BPJS Kesehatan dan wajib membayar iuran agar mekanisme subsidi silang itu bisa berlangsung baik. Iuran warga miskin ditanggung pemerintah.

Faktanya belum semua orang menjadi anggota BPJS. Celakanya pula, lebih dari 4 juta peserta BPJS Kesehatan mandiri tidak membayar iuran. Mereka membayar iuran hanya ketika sakit dan enggan membayar ketika sembuh. Itu tentu saja menyebabkan subsidi silang tidak berlangsung sukses. Itulah salah satu penyebab BPJS Kesehatan defisit.

Penyebab defisit lainnya ialah perilaku berobat masyarakat yang berubah. Dulu sebelum ada BPJS Kesehatan, masyarakat ketika sakit menahan diri untuk berobat jalan atau mendapat perawatan di rumah sakit. Kini, ketika ada BPJS Kesehatan, mereka berbondong-bondong datang ke rumah sakit untuk mendapat perawatan dan pengobatan.

Semakin banyak orang sakit yang berobat, tentu semakin besar biaya yang harus dikeluarkan BPJS Kesehatan. Itulah yang juga menyebabkan defisit. Semakin banyak orang berobat atau ingin mendapat perawatan di rumah sakit, semakin besar pula kebutuhan fasilitas untuk pasien.

Celakanya, kecepatan pengadaan fasilitas dan pelayanan di rumah sakit tidak mampu mengejar kecepatan pertambahan pasien. Itu kemudian memunculkan keluhan atas pelayanan rumah sakit terhadap pasien BPJS Kesehatan.

Penyebab defisit lainnya ialah pergeseran jenis penyakit yang diderita masyarakat. Dahulu, penyakit yang diderita masyarakat ialah penyakit menular yang biaya pengobatannya relatif tidak besar. Sekarang, penyakit yang diderita masyarakat ialah penyakit degeneratif seperti diabetes, jantung, atau kanker yang biaya pengobatannya tentu mahal.

Defisit BPJS Kesehatan terbilang fantastis, Rp3,3 triliun pada 2014 dan diperkirakan Rp6 triliun pada 2016. Untuk menyelamatkan BPJS Kesehatan dari defisit, pemerintah melalui Perpres Nomor 19/2016 menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk peserta mandiri mulai 1 April.

Dengan melihat berbagai penyebab defisit anggaran kesehatan, masuk akal belaka bila pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Tinggal lagi bagaimana rumah-rumah sakit meningkatkan pelayanan kepada pasien BPJS Kesehatan. Mereka tak boleh lagi memperlakukan pasien BPJS sebagai warga negara kelas dua.

Bagaimanapun juga, keberadaan BPJS Kesehatan harus kita pandang sebagai kemajuan di bidang pelayanan kesehatan buat warga negara. Di masa depan, BPJS Kesehatan harus mengutamakan pelayanan peningkatan kesehatan (promotif) serta pencegahan (preventif), bukan melulu pengobatan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif).

Kita juga titip pesan agar pemerintah bekerja keras meningkatkan ekonomi dan pengelolaan anggaran sehingga mimpi kita bahwa negara menanggung seluruh biaya pelayanan kesehatan warga negara bakal terwujud dalam waktu tidak terlalu lama. (DFS)

sumber: http://news.metrotvnews.com/

 

Menkes: Potensi Menular Terhadap Manusia Sangat Besar

Menteri Kesehatan (Menkes) Nila F Moeloek meminta masyarakat untuk kembali waspada atas kemungkinan terjadinya kasus flu burung. Mengingat, saat ini masih ada hewan yang terjangkit virus flu burung.

"Kasus penularan virus flu burung dari hewan ke manusia hingga saat ini belum ada. Namun, potensi menular terhadap manusia sangat besar, selama virus tersebut masih bertebaran di lingkungan," kata Nila Moeloek usai memimpin rapat pengendalian Flu Burung di Jakarta, Selasa (22/3).

Dijelaskan, penularan virus flu burung masih terjadi antar unggas, belum kepada manusia. Karena kasus flu burung pernah merebak, kewaspadaan nasional terhadap virus tersebut harus tetap dilakukan.

Untuk itu, Menkes mengimbau masyarakat untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan dan menghindari kontak dengan faktor risiko, yaitu unggas yang positif terkena virus flu burung.

Disebutkan pada 2016 ditemukan kasus flu burung positif pada unggas di 17 kabupaten/kota di 7 provinsi, yaitu Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan dan DKI Jakarta.

Di Jakarta, kasus flu burung ditemukan di pemukiman pemulung di daerah Cilandak, Jakarta Selatan. Sejak ditemukan kematian pada entok dan unggas pada 16 Maret 2016, Kemenkes bersama Dinas Kesehatan telah bergerak cepat untuk mencari warga sekitar yang kemungkinan menderita sakit dengan gejala flu burung.

"Hasil surveilans tidak menemukan kasus influenza semacam flu burung di wilayah sekitar. Meski demikian, Puskesmas setempat terus memantau warga sampai dengan 14 hari ke depan sejak 17 Maret 2016," tutur Nila.

Melalui penyuluhan petugas kesehatan, Nila menambahkan, masyarakat diingatkan kembali akan beberapa gejala flu burung yaitu demam/panas tinggi, batuk dan sakit tenggorokan.

"Jika ada gejala tersebut masyarakat diminta segera berobat ke Puskesmas. Gejala flu burung yang perlu diwaspadai adalah demam diatas 38 derajat celcius, batuk, sakit tenggorokan, pilek dan juga mempunyai faktor risiko seperti kontak dengan unggas sakit atau mati, mengolah unggas dan produk unggas seperti telur, serta kontak dengan kotoran unggas.

Untuk mengetahui penyebab kematian unggas di Cilandak, Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan (BBTLK) Kemenkes telah mengambil sampel di 4 titik. Sampel yang diambil berupa air buangan dan swab bekas kandang dan hasilnya akan diketahui dalam 2 hari kedepan.

Sementara itu, Dinas Kesehatan juga telah menyemprotkan desinfektan di lokasi kandang dan pemusnahan unggas.

"Keberhasilan pengendalian flu burung sangat ditentukan oleh peran dan dukungan seluruh masyarakat, terutama dalam tindakan pencegahan," katanya.

Ditambahkan, upaya yang bisa dilakukan adalah menghindari kontak dengan unggas sakit atau mati mendadak, menjaga kebersihan diri dan lingkungan dengan berperilaku hidup bersih dan sehat.

Untuk mengantisipasi penularan flu burung pada manusia, Kemenkes telah melakukan sosialisasi tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, menyiapkan rumah sakit (RS) khusus rujukan flu burung dan RS Rujukan Regional.

"Obat flu burung, Oseltamifir pun telah kami siapkan sebagai buffer stok," ucap Menkes menandaskan. (TW)

 

Menkes Lantik Donald Pardede Sebagai Staf Ahli Bidang Ekonomi Kesehatan

21marMenteri Kesehatan (Menkes) Nila F Moeloek melantik dr Donald pardede, MPPM sebagai Staf Ahli Bidang Ekonomi Kesehatan. Sebelumnya, Donald Pardede adalah Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan.

Menkes dalam sambutan pelantikan itu, di Jakarta, Jumat (18/3) berharap jabatan baru Donald Pardede dapat memberikan rekomendasi terhadap kebijakan di bidang ekonomi kesehatan. Sehingga tercapai kinerja terbaik guna meraih target Universal Health Coverage (UHC) pada 2019.

"Rekomendasi terkait isu strategis dalam ( bidang ekonomi kesehatan, sangat dibutuhkan. Mengingat pengalamannya 2 tahun menjabat sebagai Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan, lembaga yang khusus menangani program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)," tutur Nila Moeloek.

Pada kesempatan itu, Donald Pardede juga menandatangani Pakta Integritas, sebagai bagian dari upaya mewujudkan birokrasi yang bersih dan baik. (TW)

 

IDI Ingin Anggaran Kesehatan dan Pendidikan Seimbang

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Noor Arida Sofiana berharap anggaran kesehatan bisa seimbang dengan anggaran pendidikan. Bagaimana tidak, anggaran kesehatan sesuai Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, yaitu sebesar lima persen di APBN dan 10 persen di APBD.

Sementara dana pendidikan adalah sebesar 20 persen dari APBN dan APBD. Padahal, kata Arida, pendidikan dan kesehatan mempunyai kedudukan yang sama pentingnya.

"Mungkin tidak cukup dengan lima persen. Pendidikan saja bisa 20 persen," kata Arida di kantor PB IDI, Jakarta Pusat, Jumat (18/3).

Arida berpendapat, masyarakat tanpa pendidikan yang memadai tentunya tidak bisa menjadi generasi penerus bangsa yang baik. Akan tetapi, masyarakat yang pintar, tapi tidak sehat, juga tidak akan bisa membangun bangsa dan negara ini.

Tak hanya itu, tanpa adanya dukungan anggran, peningkatan mutu pelayanan dan kesehatan yang berorientasi pada keselamatan pasien, juga tidak akan terwujud dengan maksimal. "Tenaga dokter tanpa didukung anggaran yang cukup dari pemerintah, ini akan berakibat pada mutu pelayanan," ucap Arida.

sumber; http://nasional.republika.co.id/

 

 

404 Kabupaten/Kota Alami Masalah Gizi Tingkat Akut dan Kronis

Data Pemantauan Status Gizi (PSG) Kementerian Kesehatan (Kemkes) di 496 kabupaten/kota pada 2015 menunjukan, ada sebanyak 404 kabupaten/kota yang mengalami masalah gizi tingkat akut dan kronis. Dan hanya 9 kabupaten/kota yang tak memiliki masalah pada gizi.

"Sedangkan sisanya 26 kabupaten/kota dengan masalah gizi akut dan 27 kabupaten/kota gizi kronis," kata Direktur Gizi Masyarakat, Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat, Kemkes, Doddy Izwardy di Jakarta, Jumat (18/3)

Hadir kesempatan itu, Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat, Kemkes, Anung Sugihantono, Ketua Umum Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi), Minarto dan Kasubdit Kesehatan Usia Sekolah dan Remaja, Direktorat Kesehatan Keluarga Kemkes, Christina Manurung.

Doddy menjelaskan, PSG sebenarnya telah dilakukan sejak 2014 lalu untuj mengetahui permasalahan gizi di Indonesia. Namun PSG baru dilakukan secara terbatas di 150 kabupaten/kota.

"Pada PSG 2015, jumlah daerah diperluas hingga 459 kabupaten/kota. Hasilnya, 18,7 persen balita mengalami gizi kurang, 29 persen balita dengan badan pendek (stunting) dan 11,9 persen balita dengan berat badan kurang (kurus)," ujarnya.

Dirjen Binkesmas, Anung Sugihantono menegaskan, Indonesia sejak tahun 70-an hingga saat ini memiliki masalah gizi yang serius. Kondisi itu jika tidak dilakukan intervensi, akan mempengaruhi kualitas sumber daya manusia (SDM) seperti kegagalan pertumbuhan, pendek, kurus.

"Semua kondisi itu akan membuat anak mengalami gangguan kognitif dan kegagalan pendidikan," ujarnya.

Selain itu, Anung menambahkan, gangguan gizi pada awal kehidupan juga berdampak pada peningkatan risiko gangguan metabolik. Hal itu akanberujung pada kejadian penyakit tidak menular seperti diabetes tipe II, stroke, jantung pada usia dewasa.

Untuk itu, Anung menilai, upaya intervensi yang dilakukan tak hanya spesifik pada bidang kesehatan, tetapi juga non kesehatan seperti masalah ekonomi. Karena anak2 yang mengalami gizi buruk setelah kesehatannya pulih, akan kembali bernasib sama setelah kembali di rumah.

"Begitu sampai rumah tidak ada makan yang layak, karena keluarga tidak punya uang," ujarnya.

Untuk itu, lanjut Anung, upaya intervensi akan dilakukan dengan pendekatan keluarga dengan tujuan mengubah perilaku keluarga dan masyarakat, dalam pengenalan diri terhadap risiko penyakit.

Selain juga mengajak pemerintah daerah untuk melakukan penguatan pemberdayaan masyarakat guna meningkatkan ekonomi keluarga. Serta sosialisasi seputar gizi dan risikonya terhadap penyakit, sebagai pengetahuan agar saat ekonomi bertumbuh tidak menjadi gizi berlebih.

Dengan demikian, lanjut Anung, upaya intervensi secara spesifik bidang kesehatan dilakukan sebesar 30 persen, dan sisanya 70 persen berupa non kesehatan, seperti peningkatan ekonomi keluarga.

Hal senada dikemukakan Ketua Umum Persagi, Minarto. Pemerintah daerah harus diajak aktif dalam permasalahan gizi di daerah. Karena segencar apapun intervensi pemerintah, hasilnya tidak akan optimal jika pemerintah daerahnya tidak peduli.

"Dan yang tak kalah penting adalah pemberdayaan masyarakat secara ekonomi, agar tidak ada lagi anak-anak yang mengalami gizi kurang, bahkan gizi buruk lantaran tidak ada makanan di rumah," ujarnya.

Selain itu, lanjut Minarto, transfer pengetahuan kepada masyarakat. Karena kasus gizi kurang terjadi pada sekitar 24 persen keluarga mampu. Dan kondisi gizi kurang itu terjadi pada 43 persen keluarga miskin.

"Melihat data itu, ada yang salah. Seharusnya pada keluarga mampu tak ada lagi kasus anak kurang gizi, tetapi ada 24 persen. Berarti ada pengabaian keluarga dalam masalah gizi. Bukan hanya urusan ekonomi," ucap mantan Direktur Gizi Masyarakat Kemkes itu.

Untuk itu, Minarto menilai, pentingnya ketersediaan ahli gizi di Puskesmas guna mengedukasi masyarakat seputar pentingnya gizi. "Saat ini ada sekitar 22 persen Puskesmas kita dari 9000 Puskesmas yang ada tak ada ahli gizinya. Kami berharap pemerintah bisa memenuhi tenaga ahli gizi di Puskesmas," ucap Minarto menandaskan. (TW)

 

IDI: Kenaikan Iuran Harus Disertai Perbaikan Tata Kelola JKN

Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ilham Oetama Marsis meminta penerintah agar segera melakukan perbaikan dalam tata kelola program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), terutama pada infrastruktur dan sistem tarif di rumah sakit.

"Besaran kapitasi pada fasilitas kesehatan tahap pertama (FKTP) dan tarif di rumah sakit harus ditingkatkan. Selain peningkatan infrastruktur agar pelayanan kepada peserta JKN semakin baik," kata Marsis kepada wartawan di Jakarta, Jumat (18/3).

Ia sempat menyayangkan kenaikan iuran pada peserta PBI (penerima biaya iuran) yang dibayarkan pemerintah hanya sebesar Rp23 ribu. Padahal PB IDI telah mengusulkan kenaikan iuran PBI sebesar Rp27 ribu.

"Angka sebesar Rp27 ribu itu sudah melalui perhitungkan secara ilmiah, berdasarkan data dan fakta di lapangan selama pelaksanaan 2 tahun BPJS Kesehatan," ujarnya.

Marsis menegaskan, pihaknya tidak dalam posisi mendukung atau menolak Peraturan Presiden (Perpres) No 19 Tahun 2016. Namun, IDI percaya kualitas pelayanan bagi peserta JKN akan berkualitas, jika iuran dari peserta lebih memadai.

Hal senada dikemukakan Sekretaris Jenderal PB IDI, Adib Khumaidi. Katanya, kenaikan iuran harus diikuti dengan perbaikan regulasi, terutama hal yang terkait sistem kesehatan. Salah satunya, meningkatkan anggaran kesehatan secara nasional dari 5 persen menjadi 10 persen.

"Itu akan memperkuat upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif kesehatan oleh pemerintah," kata Adib menegaskan.

Sekretaris Bidang Kesejahteraan Dokter Advokasi dan Monev Terapan JKN untuk Masyarakat, Noor Arida Sofiana, menambahkan, iuran sudah direkomendasikan Dewan JSN. Menurutnya, tanpa adanya dukungan anggaran tidak akan terwujud secara maksimal.

Mengenai sistem pelayanan yang harus diperbaiki, baik Adib maupun Arida sepakat tidak hanya jumlah dokter yang harus sesuai dengan rasio, baik fasilitas dan prasarana kesehatan harus ditingkatkan.

"IDI tentunya menjadi bagian dalam program JKN yang memberikan kemaslahatan untuk semua, termasuk tenaga kesehatannya. Bukan hanya masyarakat. Karena survey yang dilakukan selalu kepuasan pelanggan, tak ada kepuasan dari tenaga dokter maupun tenaga kesehatannya," kata Adib menandaskan.

Noor Arida mengemukakan, Sutiana, prinsip gotong royong dalam JKN harus dipastikan berjalan. Mengingat, selama ini peserta mandiri paling banyak menggunakan layanan kesehatan dalam JKN, tetapi tidak sebanding dengan kolektabilitas iurannya.

"Karena itu, salah satu hal yang bisa dilakukan agar prinsip gotong royong tetap terjaga ialah menerapkan iur biaya bagi peserta yang mampu, terutama kelas 2 dan 1, tak hanya PBI," ucap Noor Arida. (TW)

 

DJSN: Penyesuaian Iuran Harus Dilakukan Demi Keberlangsungan Program JKN

16marKetua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Tubagus Rachmat Sentika mengemukakan, penyesuaian iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan harus dilakukan, demi keberlanjutan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

"Sebenarnya istilah yang tepat bukan kenaikan, melainkan penyesuaian iuran. Mengingat iuran dihitungkan saat ini sudah berdasarkan kebutuhan riil di lapangan8," kata Rachmat Sentika usai konferensi pers tentang Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2016 di Jakarta, Rabu (16/3).

Hadir dalam kesempatan itu, Sekjen Kementerian Kesehatan, Untung Suseno dan Direktur Hukum Komunikasi dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan Bayu Wahyudi, Ketua Persatuan Rumah Sakit (Persi) Kuncoro.

Penyesuaian iuran itu, lanjut Rachmat Sentika, ditetapkan Pemerintah dengan diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Jaminan Kesehatan Nasional sebagai penyempurnaan dari Perpres Nomor 12 Tahun 2013 dan Perpres Nomor 111 Tahun 2013.

"Dalam Perpres Nomor 19 Tahun 2016 terdapat penyesuaian-penyesuaian, terutana untuk menindaklanjuti APBN 2016," katanya.

Dalam APBN 2016, kata Rachmat Sentika, ada penyesuaian besaran iuran penerima bantuan iuran (PBI) dari Rp19.225 menjadi Rp23.000. Selain itu, ada penambahan jumlah peserta BPJS Kesehatan dari 86,4 juta orang menjadi 92,4 juta orang.

"Untuk itu, harus didukung dengan Perpres. Karena ada perubahan penyesuaian nilainya besaran PBI dalam APBN 2016," ujarnya,

Ditambahkan, upaya penyesuaian iuran itu juga dilakukan akibat adanya peningkatan klaim rasio penanganan penyakit tidak menular (katastropik) seperti jantung, stroke, diabetes, kanker dan ginjal yang memakan biaya besar.

Mengingat saat ini ada 8,2 persen dari 15,9 juta peserta mandiri berusia diatas 52 tahun yang menderita katastropik. Beban biaya itu tidak adil jika tidak dilakukan penyesuaian iuran pada peserta mandiri, terutama pada peserta mandiri kelas satu dan kelas dua.

"Dari fakta yang tersaji, ternyata ada klaim rasio dr peserta mandiri non PPU (Pekerja Penerima Upah) sebesar 500 persen. Kondisi ini tidak adil kalau kita tak dilakukan penyesuaian-penyesuian pada peserta mandiri kelas 2 dan satu," tuturnya.

Penyesuaian iuran BPJS Kesehatan pada kelompok mandiri non PPU, yaitu kelas 3 dari sebelumnya Rp25.500 menjadi Rp30.000, naik Rp4.500. Untuk kelas 2, dari Rp 42.500 menjadi Rp51.000, atau naik Rp8.500. Dan kelas satu dari Rp59.500 naik Rp20.500 menjadi Rp80.000.

Dengan dilakukan penyesuaian itu, menurut Rachmat Sentika, diharapkan BPJS Kesehatan memiliki keleluasaan untuk meningkatkan pelayanannya. Termasuk kerja sama dengan rumah sakit swasta guna memperluas akses layanan kesehatannya.

Sementara itu, Sekjen Kemkes, Untung Suseno mengatakan, penyesuaian iuran BPJS Kesehatan tersebut akan mempengaruhi besaran tarif INA-CBGs. Saat ini sedang dilakukan penghitungan ulang, jenis penyakit apa saja yang akan mengalami perubahan besaran tarifnya.

"Mungkin hasilnya baru akan diumumkan ke publik bulan depan. Saat ini masih dilakukan pembahasan dalam perubahan tarif di INA CBGs," kata Untung.

Perubahan tarif tersebut, lanjut Untung, diharapkan dapat mendorong rumah sakit swasta untuk bergabung dalam program JKN. Karena disadari pembangunan rumah sakit membutuhkan waktu lama, ketimbang menjalin kerja sama dengan rumah sakit swasta.

"Keterlibatan rumah sakit swasta akaj mempermudah masyarakat mendapat akses terhadap layanan kesehatan. Diharapkan, tak terdengar lagi kasus antrian panjang atau penumpukan pasien di rumah sakit tertentu," katanya.

Untung menjelaskan, sebenarnya ada tiga opsi dalam menyelesaian defisit anggaran di BPJS Kesehatan. Pertama, pengurangan manfaat. Misalkan, untuk pengobatan yang membutuhkan biaya besar seperti cuci darah, kanker dan jantung ditiadakan dalam layanan.

"Jika opsi itu dipilih, pemerintah akan dinilai tidak manusiawi. Karena itu, pemerintah mengambil opsi kedua, melakukan penyesuaian iuran. Kenaikan pada kelas tiga kelompok pun tidak besar, yaitu Rp4.500 untuk layanan kesehatan yang lebih prima," tuturnya.

Untung menegaskan, penyesuaian iuran sebenarnya tak hanya pada peserta mandiri saja, tetapi juga pada iuran PBI yang ditanggung pemerintah. Termasuk iuran bagi pekerja penerima upah (PPU) yaitu 5 persen dengan mana batas gaji atau upaya hingga Rp4 juta untuk kelas satu dan Rp4-8 juta untuk kelas satu. (TW)

{jcomments on}

Paradoks Inovasi Teknologi Alat Kesehatan

Kolom opini Kepala Balitbangkes Siswanto di Republika pada Senin (29/2) menggambarkan situasi ideal pengembangan teknologi kesehatan baik obat maupun alat kesehatan yang patut didukung. Dalam artikel tersebut, Siswanto berargumen tentang pentingnya prinsip pelayanan pengobatan berbasis bukti (evidence based medicine) yang dianut oleh otoritas pemberi izin edar di Indonesia, yaitu BPOM untuk obat dan Dirjen Faralkes untuk alat kesehatan.

Namun pada kenyataannya, perkembangan teknologi kesehatan di negara berkembang seperti Indonesia penuh paradoks dan sarat atas konflik kepentingan. Di satu sisi, pemerintah perlu melindungi masyarakat dari teknologi yang dianggap belum terbukti sehingga pembuktian melalui uji klinis sebelum diedarkan menjadi sebuah keharusan.

Di sisi lain, infrastruktur yang dibutuhkan untuk melaksanakan uji klinis sangat terbatas, seperti fasilitas penelitian, tenaga dokter peneliti, penguasaan terhadap good clinical practice (GCP), putusan komite etik yang bisa diterima secara luas, dan regulasi yang melindungi peneliti maupun pasien. Di Amerika, biaya yang dibutuhkan untuk satu uji yang bersifat terapi berkisar 30-40 juta dolar AS dengan tingkat kesuksesan yang sangat rendah.

Berbeda dengan industri farmasi yang sudah lebih mapan secara industri dan telah didukung oleh regulasi yang dibutuhkan, inovasi teknologi alat kesehatan selama ini mejadi topik yang kerap diabaikan. Menurut data Kemenkes tahun 2014, untuk pemenuhan alat kesehatan, Indonesia memiliki ketergantungan impor yang sangat tinggi, yaitu 94 persen dengan pangsa pasar domestik sebesar Rp 12 triliun.

Produk lokal yang dikembangkan produsen dalam negeri masih berkutat pada produk teknologi rendah, seperti tempat tidur rumah sakit, inkubator bayi, dan alat-alat kesehatan habis pakai, dengan bahan baku 95 persennya berasal dari impor.

Dengan kondisi pasar seperti itu, bisa dimengerti apabila fokus regulasi yang dimiliki oleh Kemenkes selama ini terbatas pada izin produksi yang diatur melalui Permenkes 1189/2010 tentang Produksi Alat Kesehatan, dan izin edar yang diatur melalui Permenkes 1190/2010 tentang Izin Edar Alat Kesehatan dan 1191/2010 tentang Izin Penyalur Alat Kesehatan.

Apabila aturan uji klinis untuk pengembangan farmasi sudah diatur melalui Permenkes Nomor 66/2013 tentang Penyelenggaraan Registri Penelitian Klinik dan Peraturan Kabadan POM Nomor 9/2014 tentang Tata Laksana Persetujuan Uji Klinik, untuk alat kesehatan regulasi yang ada hanya Permenkes 1190 yang menyatakan kategori alat kesehatan kelas 3 diperlukan uji klinis sebelum bisa diedarkan.

Bagaimana mekanisme uji klinis dilakukan, kepada siapa pengembang teknologi harus mendaftar uji, dan siapa yang berhak memberikan penilaian, belum diatur secara khusus. Hal ini dikarenakan belum pernah ada produsen dalam negeri mengajukan izin untuk alat kesehatan kelas 3. Sedangkan, alat kesehatan kelas 1 dan 2, uji alat yang dilakukan hanya sesuai dengan standar yang dimiliki oleh produsen, belum dalam standar yang diatur regulasi.

Minimnya uji klinis yang dilakukan di Indonesia sebenarnya bukan hanya di sektor alat kesehatan. Portal registri penyakit Indonesia milik Balitbangkes mencatat sembilan studi yang sedang dilakukan. Informasi tentang uji klinis farmasi yang didaftarkan di BPOM tidak tersedia. Sedangkan, dari portal www.clinicaltrial.gov, didapat 288 uji yang pernah dilakukan Indonesia, dengan 62 uji yang masih berjalan. Angka ini sangat rendah dibandingkan negara tetangga, seperti Filipina 779 uji, Malaysia 833 uji, Singapura 1.565 uji, dan Thailand 1.860 uji.

Melihat contoh kasus Warsito, sejak tahun 2012 sudah mengirimkan surat kepada Menteri Kesehatan meminta untuk diberikan arahan dan jalan keluar atas temuan ECCT dan ECVT agar dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Kerja sama dengan Balitbangkes yang disepakati setelahnya memiliki banyak kendala, seperti tidak adanya mekanisme transfer biaya dari swasta ke pemerintah untuk melakukan penelitian, kurangnya kepercayaan di antara pihak yang terlibat, dan keterbatasan tenaga peneliti yang ada. Masalah yang ada dibiarkan larut tanpa ada penyelesaian hingga menjadi konflik panjang antara Kemenkes, profesi dokter, pasien, dan Warsito akhir tahun 2015.

Gagalnya riset bersama antara Kemenkes dan Warsito sangat disayangkan, apalagi melihat fakta bahwa kanker semakin menjadi beban ekonomi yang memberatkan negara dan masyarakat. BPJS Kesehatan pada tahun 2014 mencatat pendanaan pengobatan kanker mencapai Rp 2 triliun.

Studi ASEAN Cost In Onclogy (ACTION) mengungkapkan, 70 persen pasien kanker meninggal dengan terbebani soal keuangan setelah satu tahun terdiagnosis. Lebih dari 40 persen penyintas jatuh miskin membiayai terapi pada satu tahun pertama.

Karena permasalahan yang begitu rumit, Kemenkes sebagai regulator diharapkan membuat kebijakan-kebijakan yang lebih interventif agar industri pengembangan teknologi kesehatan bisa tumbuh dan menjadi bagian dari solusi. Segala kegaduhan yang terjadi terkait ECCT dan ECVT sebenarnya bisa dihindari apabila regulasi turunan dari UU No 39/2009 tentang Kesehatan untuk mengatur uji klinis alat kesehatan segera dibuat ketika Warsito meminta arahan empat tahun lalu.

Balitbangkes pernah melakukan terobosan regulasi dalam meningkatkan inovasi lewat Permenkes 003/2010 tentang saintifikasi jamu dalam penelitian berbasiskan pelayanan. Ini juga bisa dijadikan yurisprudensi bagi kemungkinan saintifikasi alat kesehatan.

Insentif riset yang selama ini diberikan oleh Kemenristekdikti kepada para inventor alat kesehatan yang tersebar di beberapa universitas harus dilihat sebagai investasi publik terhadap peningkatan daya saing bangsa. Sangat disayangkan apabila investasi tersebut hanya berakhir pada produk prototipe tanpa diberi kesempatan untuk bisa ikut bersaing di pasar karena kurang didukung oleh regulasi yang memadai.

Kerja sama dan komunikasi yang baik antarpemerintah maupun dengan profesi dokter dan inventor tentunya akan menyisihkan paradoks yang selama ini ada dalam pengembangan alat kesehatan. Karena saya percaya bahwa tidak ada tempat yang lebih membutuhkan dan lebih cocok untuk melakukan uji klinis terhadap teknologi yang ditemukan oleh Warsito dan pengembang teknologi kesehatan lain, selain tanah air tercinta, Indonesia.

Fauzan Zidni
Direktur Edwar Teknologi

sumber: http://www.republika.co.id/

 

  • angka jitu
  • togel 4d
  • agen togel
  • slot 4d
  • bandar toto 4d
  • togel 4d
  • togel online
  • rajabandot
  • slot gacor
  • toto macau
  • toto macau
  • toto macau
  • toto macau
  • situs toto
  • situs slot
  • rtp live slot
  • toto slot
  • bandar slot
  • toto macau
  • bandar togel online
  • togel online
  • togel sdy
  • togel online
  • toto macau
  • hongkong lotto
  • hongkong lotto
  • situs slot
  • slot gacor
  • bandar slot 4d
  • bandar slot
  • bandar slot gacor
  • bandar slot gacor
  • slot dana
  • toto macau
  • bandar togel 4d
  • wengtoto
  • toto hk
  • slot dana
  • hk lotto
  • toto sdy
  • slot gacor
  • slot 5000
  • toto slot
  • toto togel 4D
  • toto macau
  • slot thailand
  • slot gacor
  • togel sidney
  • live draw sgp
  • Bandar Slot
  • bandar slot gacor
  • togel macau
  • toto slot
  • slot qris
  • slot toto 4d
  • Toto Togel 4D
  • sdy lotto
  • bola gacor
  • slot 5000
  • toto hongkong
  • toto slot
  • slot 5000
  • slot 5000
  • toto togel
  • slot 5000
  • slot 5000
  • slot 5000
  • situs toto
  • BATASRAJABANDOT
  • slot 777
  • slot gacor
  • slot gacor
  • Bandar Slot
  • Situs Slot
  • Bandar Slot
  • Slot Gacor
  • situs slot
  • situs slot online
  • Bandar Situs Slot Gacor
  • slot online
  • bokep
  • toto slot
  • Slot Demo
  • situs togel
  • bola slot
  • slot gacor
  • hitam slot
  • permainan slot
  • dewa slot
  • agent slot
  • slot toto
  • slot gacor
  • slot gacor
  • toto slot
  • akun demo slot
  • toto slot
  • slot gacor
  • slot gacor
  • https://heylink.me/iblbettotoslot
  • toto slot
  • slot88
  • situs toto
  • slot 5000