Program JKN: Disayangkan, Petugas Kesehatan dan Peserta Tak Paham Layanan Rujuk Balik

6janKetua Komisi Monitoring dan Evaluasi Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Zaenal Abidin menyayangkan masiah rendahnya pemahaman petugas kesehatan dan peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terhadap pelayanan rujuk balik yang dikembangkan oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan.

"Padahal layanan rujuk balik sangat penting untuk efisiensi, guna menjaga keberlangsungan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)," kata Zaenal Abidin dalam acara pemaparan survey Indeks Kepuasan Program JKN 2015 oleh PT Swasembada Bisnis Media, di Jakarta, Rabu (30/12).

Zaenal mengungkapkan, layanan rujuk balik masih sulit dipahami tak hanya oleh petugas kesehatan, tetapi juga sebagian peserta BPJS Kesehatan sendiri. Sehingga banyak pasien yang merasa seperti di"ping-pong" karena harus kembali ke fasilitas kesehatan tahap pertama (FKTP).

"Petugas kesehatan juga menganggap kenapa pasien harus dikembalikan ke FKTP, jika bisa disembuhkan di rumah sakit. Padahal, pasien dikembalikan ke FKTP karena kondisi penyakitnya dianggap sudah bisa diatasi hanya di FKTP," katanya.

Layanan rujuk balik yang dikembangkan BPJS Kesehatan saat ini untuk pasien dengan penyakit kronis, seperti diabetes mellitus dan hipertensi.

Zaenal juga mengaku kurang setuju dengan istilah rujuk balik, karena memberi kesan dokter spesialis merujuk pasiennya ke dokter umum di layanan primer. Istilah yang lebih tepat menurutnya adalah mengembalikan rujukan.

"Pelayanan rujuk balik ini juga sangat baik sebagai proses pembelajaran untuk dokter umum. Karena sebelum pasien dikembalikan ke layanan primer, dokter spesialis di rumah sakit akan memberi catatan khusus mengenai apa yang harus dilakukan dokter umum dalam merawat pasien tersebut," ucapnya menegaskan.

Mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia itu berharap, BPJS Kesehatan lebih menggiatkan lagi kegiatan sosialisasi rujuk balik ini agar peserta BPJS Kesehatan tidak merasa dipermainkan. Sosialisasi juga termasuk pada petugas kesehatannya.

Indeks Kepuasan

Terkait dengan hasil survey, Rohmat Purnadi, Kepala Riset PT Swasembada Media Bisnis menjelaskan, indeks kepuasan peserta program JKN 2015 masuk dalam kategori tinggi yaitu 78,9 persen. Survey dilakukan terhadap 20.163 responden peserta BPJS Kesehatan.

"Survey juga kami lakukan terhadap 1.759 responden penyedia layanan fasilitas kesehatan. Total responden sebanyak 21.922 responden, dengan margin error 5 persen," tuturnya.

Rochmat menyebutkan, indeks kepuasan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) lebih tinggi dibandingkan peserta Non-PBI, yaitu sebesar 79,7 persen (PBI) dan 78,1 persen (Non-PBI).

Jika ditelisik lebih dalam, indeks kepuasan peserta Non-PBI untuk masing-masing jenisnya bernilai relatif sama, yaitu Pekerja Penerima Upah (PPU) sebesar 78.2 persen, Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) sebesar 78.2 persen dan Bukan Pekerja sebesar 77.8 persen.

Sementara itu dari sisi kontak dengan titik pelayanan, secara umum indeks kepuasan peserta BPJS Kesehatan tidak jauh berbeda, yaitu antara 78-79,5 persen, dengan rata-rata indeks nasional sebesar 78,9 persen.

Adapun untuk masing-masing rinciannya adalah Puskesmas sebesar 78.6 persen, Dokter Praktek Perorangan (DPP) sebesar 79.5 persen, klinik sebesar 78.9 persen, Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) sebesar 79.1 persen, Kantor Cabang BPJS Kesehatan sebesar 78.5 persen, dan BPJS Kesehatan Center sebesar 79.0 persen.

"Khusus di FKRTL, indeks kepuasan peserta BPJS Kesehatan di RS swasta, RS pemerintah, dan RS TNI/Polri secara umum tidak jauh berbeda. Di RS swasta 79.7 persen, RS pemerintah 79.2 persen, dan RS TNI/Polri 78.5 persen,"ujarnya.

Dalam hal tipe perawatan, kepuasan peserta BPJS Kesehatan rawat jalan adalah 79.2 persen, sedangkan untuk peserta BPJS Kesehatan rawat inap adalah 78.9 persen.

Secara umum, indeks kepuasan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) cenderung lebih tinggi daripada FKRTL. Masing-masing indeks kepuasan berdasarkan jenis FKTP yaitu Puskesmas sebesar 76.2 persen, DPP 78.0 persen dan klinik 77.5 persen.

Sementara untuk FKRTL, indeks kepuasan terhadap kinerja BPJS Kesehatan adalah sebesar 71.9 persen. Sementara itu, jika dilihat dari segi wilayah kerja, Divisi Regional IX memiliki indeks kepuasan peserta lebih tinggi (85.6) dibandingkan Divisi Regional lainnya, yang berkisar antara 75.0- 85.6 persen.

Adapun untuk indeks kepuasan fasilitas kesehatan terhadap BPJS Kesehatan yang tertinggi berhasil dicapai oleh Divisi Regional X (84.5%), sementara pencapaian Divisi Regional lainnya berkisar antara 68.1- 84.5 persen.

"Dari hasil survey ini, bisa kita tarik kesimpulan bahwa ada sejumlah aspek yang harus dipertahankan dan ada yang perlu ditingkatkan," kata Rochmat.

Dari sisi peserta, yang harus dipertahankan antara lain ketersediaan loket pelayanan, kesesuaian proses pelayanan dengan alur yang ditetapkan, kecepatan pelayanan di loket pendaftaran, kesamaan perlakuan terhadap pasien BPJS Kesehatan dan pasien umum, kenyamanan ruang tunggu, serta kecukupan jumlah tenaga medis, obat, dan loket pendaftaran di FKTP," tuturnya.

Dari sisi fasilitas kesehatan, menurut Rochmat, kecepatan merespon pengajuan fasilitas kesehatan menjadi mitra BPJS Kesehatan, ketepatan pembayaran jumlah klaim atau kapitasi, dan penyelenggaraan program pertemuan kemitraan adalah beberapa hal yang harus dipertahankan oleh BPJS Kesehatan.

Sejumlah hal yang perlu ditingkatkan, disebutkan, antara lain ketepatan jam kedatangan dokter sesuai jadwal di poliklinik, kecepatan petugas BPJS Kesehatan Center menangani masalah, serta kemudahan proses rujuk balik dari rumah sakit. (TW)

 

Upaya Menkes Tingkatkan Derajat Kesehatan Nasional

UNTUK terus meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia dan mencapai tujuan program Indonesia Sehat, 2016 ini Kementerian Kesehatan Republik Indonesia akan lebih mengandalkan pendekatan keluarga dalam berbagai aspek.

"2016 ini kami menggalakan Indonesia Sehat dengan pendekatan keluarga. Kami menyadari bahwa usaha promotif dan preventif untuk kesehatan tidak hanya harus ditekankan di Puskesmas tapi dari keluarga. Misalnya, pasien yang datang ke puskesmas karena kena TBC, penanganan seharusnya tidak hanya berhenti di pasien tapi juga keluarganya," tutur Menteri Kesehatan, Nila F Moeloek.

Dalam konferensi pers yang dilangsungkan di Kantor Kemenkes RI, Jakarta Selatan, Selasa (5/1/2016), tersebut dilakukan dengan mengubah paradigma sehat dan keluarga sehat. Untuk mencapai hal tersebut, peningkatan kualitas di fasilitas pelayanan kesehatan, khususnya di fasilitas kesehatan tingkat pertama, dan edukasi ke masyarakat terus akan ditingkatkan.

"Kita lihat pada 2015, pasien yang dirawat di fasyankes rujukan masih mencapai 80 persen dan 20 persen di puskesmas. Ini bisa disebabkan dua hal, karena perilaku langsung pergi ke rumah sakit daripada puskesmas atau memang penyakit yang perlu ditangani sudah berat karena terlambat dicegah. Itu masih perlu kita benahi," tutur Menkes Nila.

Menkes Nila melanjutkan, strategi pendekatan keluarga untuk menggalakan upaya promotif dan preventif di antaranya dilakukan dengan pendekatan daur kehidupan dan prioritas pendanaan pada pemenuhan kegiatan promotif dan preventif. Ini di antaranya dengan mengadakan pendidikan dokter layanan peimer yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penjaga gawang di fasilitas kesehatan tingkat pertama.

"Nantinya, tenaga medis juga diharapkan lebih aktif menjangkau keluarga. Misalnya orangtua tidak bisa membawa balita untuk datang melakukan penimbangan ke posyandu, maka dokter layanan primer dapat segera berkunjung ke rumahnya agar bisa dilakukan kontrol kesehatannya," jelas Menkes Nila.

sumber: http://lifestyle.okezone.com/

 

 

Juni: MERS Sampai ke Korea Selatan, Indonesia Ikut Siaga

Secara mengejutkan, wabah Middle East Respiratory Syndrome (MERS) merebak juga hingga ke Korea Selatan. Meski sebelumnya MERS pernah dilaporkan muncul di Tiongkok dan Filipina, namun wabah yang terjadi di Korea Selatan bisa jadi yang terburuk di Asia sepanjang tahun 2015.

Wabah ini diduga muncul dari seorang pasien laki-laki berumur 68 tahun yang baru saja pulang dari Timur Tengah. Ia awalnya hanya memeriksakan diri di rumah sakit karena keluhan lain, dan tentu saja tidak ditempatkan di ruang isolasi karena tidak diketahui membawa virus pemicu MERS di tubuhnya.

Namun sembilan hari kemudian, barulah ia dipastikan terjangkit virus pemicu MERS atau virus corona, dan proses isolasi sudah terlambat dilakukan karena akibat kontak dengan pria ini, dua pasien dinyatakan meninggal dunia.

Selama terjadinya wabah yang berlangsung pada bulan Mei-Juli 2015 itu tercatat terjadi 186 kasus dengan jumlah korban meninggal sebanyak 36 orang. Bahkan Korea Selatan juga mengkarantina lebih dari 1.800 orang di rumah sakit-rumah sakit tertentu, serta menutup lebih dari 700 sekolah.

Menariknya, sempat beredar kabar bahwa beberapa pasien MERS di Korea berkewarganegaraan Indonesia, yakni 5 orang TKI. Tetapi hal ini disanggah Kemenkes yang mengaku telah mengecek ke sejumlah instansi terkait di Korea, seperti Kemenkes, Kedubes Indonesia di Seoul dan Kedubes Korea di Jakarta.

Kemudian muncul lagi isu seorang balita laki-laki berusia dua tahun yang diduga terjangkit virus MERS setelah pulang berlibur dari Korea bersama keluarganya. Pasalnya sepulang dari Korea, ia mengalami demam, sehingga kemudian segera dirujuk ke rumah sakit, lalu diisolasi di RSPI Sulianti Suroso, Jakarta.

"Pihak keluarganya mengerti kalau gejala demam itu, apalagi dari Korea Selatan. Mereka waspada," kata dr Ida Bagus Sila, Ketua Tim Emerging and Re-emerging Disease RSPI Sulianti Saroso menanggapi hal tersebut.

Beruntung setelah menjalani serangkaian tes, bocah berinisial M itu diketahui negatif MERS. "Hasil polymerase chain reaction (PCR) pasien yang tadinya dididuga MERS CoV di RSPI Sulianti Suroso a/n M adalah negatif MERS CoV dan Influenza, demikian juga pemeriksaan pada kontak juga hasilnya negatif," ujar Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan saat itu, Prof dr Tjandra Yoga Aditama SpP(K), DTM&H, MARS DTCE.

Prof Tjandra menambahkan gejala klinis pada pasien juga tidak sesuai dengan gejala pasien MERS CoV, dan di Korea sendiri tidak terbukti terjadi penularan pada masyarakat luas, artinya penularan

Pihak RSPI Sulianti Suroso menambahkan sepanjang tahun 2015 sudah ada 4 pasien suspek MERS yang pernah dirawat. Keempatnya punya riwayat dari Timur Tengah dan sudah diperbolehkan pulang karena terbukti negatif.

Dalam kesempatan terpisah, menurut Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP&PL) Dr H. Mohamad Subuh, MPPM, data menunjukkan setidaknya setiap tahun ada 750 ribu warga Indonesia yang pergi umroh dan 250 ribu yang pergi haji, ditambah dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan pebisnis total jumlah yang bepergian dari Indonesia ke Timur Tengah bisa mencapai 2 juta orang per tahun.

"Enggak ada negara sebesar Indonesia yang penduduknya itu datang ke daerah infeksi dengan waktu yang lama. Jemaah haji terbesar di dunia, umrah terbesar di dunia, tenaga kerja terbesar juga di dunia. Kita potensi tinggi terhadap penyebaran," kata Subuh.

Akan tetapi antisipasi telah dilakukan semenjak wabah ini pertama kali muncul di tahun 2012, dan terbukti belum ada satu pun kasus yang tercatat terjadi pada warga Indonesia.(lll/up)

sumber: http://health.detik.com

 

 

Indonesia Hadapi Tiga Persoalan Berat di Bidang Kesehatan

Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan (Fikes) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Yoyok Bekti Prasetyo, mengemukakan ada tiga persoalan utama terekait masalah kesehatan yang dihadapi bangsa Indonesia.

Persoalan tersebut yakni tingginya kematian ibu dan anak, meningkatnya penderita HIV/AIDS, dan semakin sulitnya akses lingkungan bersih bagi masyarakat Indonesia, kata Yoyok Bekti Prasetyo di sela acara kajian multidisipliner bertajuk "Membangun Budaya Sehat Berbasis Masyarakat" di kampus UMM, Selasa.

"Persoalan inilah yang mendorong pembangunan kesehatan di Indonesia harus berbasis budaya dengan melibatkan masyarakat. Salah satu fenomena masalah kesehatan lainnya juga ditemui di lingkungan masyarakat, seperti kasus penolakani ibu-ibu desa saat anaknya diimunisasi," kata Yoyok Bekti Prasetyo.

Penolakan ibu-ibu ketika anaknya diimunisasi tersebut, karena mereka khawatir ada bahan dari babi yang berarti haram. Akhirnya setelah kami jelaskan panjang lebar proses pembuatan vaksin sampai unsur haramnya hilang, baru anak mereka diperbolehkan untuk diimunisasi.

Selain kasus tersebut, katanya, ada sejumlah contoh kasus, seperti kasus anak yang terkena HIV lalu dikucilkan di SD-nya. Bahkan seorang kepala sekolah juga tidak memperbolehkan anak tersebut sekolah dengan alasan agar penyakit tersebut tidak menular, padahal penularan penyakit ini tidak serta merta terjadi jika hanya berkomunikasi secara biasa. "Ini membuktikan bahwa mereka tidak memahami tentang penyakit tersebut," ucapnya.

Sementara itu, Wakil Direktur Rumah Sakit UMM dr Thantowi Djauhari memaparkan bagaimana pendidikan reproduksi sudah diajarkan sejak dini. "Kurang tersedianya edukasi tentang seks bagi remaja ini membuat remaja semakin penasaran dan ingin mencari tahu sendiri. Baik itu melalui majalah, buku,atau film pornografi, sehingga banyak remaja Indonesia yang sudah melakukan hubungan seks bebas pada usia yang masih sangat belia," ujarnya.

Thathit Manon Andini, Sekretaris Lembaga Kebudayaan (LK) UMM mengatakan bahwa kajian multidisipliner yang diadakan dua bulan sekali ini memberikan ruang sinergisitas tentang ilmu satu dengan ilmu yang lain. Ilmu tersebut akan dihubungkan dengan budaya atau kebiasaan masyarakat yang berkembang.

Ia menambahkan ini merupakan salah satu kepedulian UMM terhadap masyarakat. Karena pada dasarnya, sebagai akademisi tentunya memiliki tanggung jawab sebagai kontrol sosial dalam masyarakat. "Dengan adanya ini, saya berharap LK sebagai kepanjangan tangan di UMM bisa berperan aktif dalam pemberdayaan masyarakat dalam hal pendidikan dan pengetahuan," tuturnya.

Kajian multidispliner tersebut diikuti oleh puluhan peserta berasal dari mahasiswa, dosen, karyawan, serta beberapa guru TK di Malang. (Antara)

sumber: http://www.suara.com/

 

 

Program JKN: Disayangkan, Petugas Kesehatan dan Peserta Tak Paham Layanan Rujuk Balik

Ketua Komisi Monitoring dan Evaluasi Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Zaenal Abidin menyayangkan masiah rendahnya pemahaman petugas kesehatan dan peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terhadap pelayanan rujuk balik yang dikembangkan oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan.

"Padahal layanan rujuk balik sangat penting untuk efisiensi, guna menjaga keberlangsungan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)," kata Zaenal Abidin dalam acara pemaparan survey Indeks Kepuasan Program JKN 2015 oleh PT Swasembada Bisnis Media, di Jakarta, Rabu (30/12).

Zaenal mengungkapkan, layanan rujuk balik masih sulit dipahami tak hanya oleh petugas kesehatan, tetapi juga sebagian peserta BPJS Kesehatan sendiri. Sehingga banyak pasien yang merasa seperti di"ping-pong" karena harus kembali ke fasilitas kesehatan tahap pertama (FKTP).

"Petugas kesehatan juga menganggap kenapa pasien harus dikembalikan ke FKTP, jika bisa disembuhkan di rumah sakit. Padahal, pasien dikembalikan ke FKTP karena kondisi penyakitnya dianggap sudah bisa diatasi hanya di FKTP," katanya.

Layanan rujuk balik yang dikembangkan BPJS Kesehatan saat ini untuk pasien dengan penyakit kronis, seperti diabetes mellitus dan hipertensi.

Zaenal juga mengaku kurang setuju dengan istilah rujuk balik, karena memberi kesan dokter spesialis merujuk pasiennya ke dokter umum di layanan primer. Istilah yang lebih tepat menurutnya adalah mengembalikan rujukan.

"Pelayanan rujuk balik ini juga sangat baik sebagai proses pembelajaran untuk dokter umum. Karena sebelum pasien dikembalikan ke layanan primer, dokter spesialis di rumah sakit akan memberi catatan khusus mengenai apa yang harus dilakukan dokter umum dalam merawat pasien tersebut," ucapnya menegaskan.

Mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia itu berharap, BPJS Kesehatan lebih menggiatkan lagi kegiatan sosialisasi rujuk balik ini agar peserta BPJS Kesehatan tidak merasa dipermainkan. Sosialisasi juga termasuk pada petugas kesehatannya.

Indeks Kepuasan

Terkait dengan hasil survey, Rohmat Purnadi, Kepala Riset PT Swasembada Media Bisnis menjelaskan, indeks kepuasan peserta program JKN 2015 masuk dalam kategori tinggi yaitu 78,9 persen. Survey dilakukan terhadap 20.163 responden peserta BPJS Kesehatan.

"Survey juga kami lakukan terhadap 1.759 responden penyedia layanan fasilitas kesehatan. Total responden sebanyak 21.922 responden, dengan margin error 5 persen," tuturnya.

Rochmat menyebutkan, indeks kepuasan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) lebih tinggi dibandingkan peserta Non-PBI, yaitu sebesar 79,7 persen (PBI) dan 78,1 persen (Non-PBI).

Jika ditelisik lebih dalam, indeks kepuasan peserta Non-PBI untuk masing-masing jenisnya bernilai relatif sama, yaitu Pekerja Penerima Upah (PPU) sebesar 78.2 persen, Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) sebesar 78.2 persen dan Bukan Pekerja sebesar 77.8 persen.

Sementara itu dari sisi kontak dengan titik pelayanan, secara umum indeks kepuasan peserta BPJS Kesehatan tidak jauh berbeda, yaitu antara 78-79,5 persen, dengan rata-rata indeks nasional sebesar 78,9 persen.

Adapun untuk masing-masing rinciannya adalah Puskesmas sebesar 78.6 persen, Dokter Praktek Perorangan (DPP) sebesar 79.5 persen, klinik sebesar 78.9 persen, Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) sebesar 79.1 persen, Kantor Cabang BPJS Kesehatan sebesar 78.5 persen, dan BPJS Kesehatan Center sebesar 79.0 persen.

"Khusus di FKRTL, indeks kepuasan peserta BPJS Kesehatan di RS swasta, RS pemerintah, dan RS TNI/Polri secara umum tidak jauh berbeda. Di RS swasta 79.7 persen, RS pemerintah 79.2 persen, dan RS TNI/Polri 78.5 persen,"ujarnya.

Dalam hal tipe perawatan, kepuasan peserta BPJS Kesehatan rawat jalan adalah 79.2 persen, sedangkan untuk peserta BPJS Kesehatan rawat inap adalah 78.9 persen.

Secara umum, indeks kepuasan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) cenderung lebih tinggi daripada FKRTL. Masing-masing indeks kepuasan berdasarkan jenis FKTP yaitu Puskesmas sebesar 76.2 persen, DPP 78.0 persen dan klinik 77.5 persen.

Sementara untuk FKRTL, indeks kepuasan terhadap kinerja BPJS Kesehatan adalah sebesar 71.9 persen. Sementara itu, jika dilihat dari segi wilayah kerja, Divisi Regional IX memiliki indeks kepuasan peserta lebih tinggi (85.6) dibandingkan Divisi Regional lainnya, yang berkisar antara 75.0- 85.6 persen.

Adapun untuk indeks kepuasan fasilitas kesehatan terhadap BPJS Kesehatan yang tertinggi berhasil dicapai oleh Divisi Regional X (84.5%), sementara pencapaian Divisi Regional lainnya berkisar antara 68.1- 84.5 persen.

"Dari hasil survey ini, bisa kita tarik kesimpulan bahwa ada sejumlah aspek yang harus dipertahankan dan ada yang perlu ditingkatkan," kata Rochmat.

Dari sisi peserta, yang harus dipertahankan antara lain ketersediaan loket pelayanan, kesesuaian proses pelayanan dengan alur yang ditetapkan, kecepatan pelayanan di loket pendaftaran, kesamaan perlakuan terhadap pasien BPJS Kesehatan dan pasien umum, kenyamanan ruang tunggu, serta kecukupan jumlah tenaga medis, obat, dan loket pendaftaran di FKTP," tuturnya.

Dari sisi fasilitas kesehatan, menurut Rochmat, kecepatan merespon pengajuan fasilitas kesehatan menjadi mitra BPJS Kesehatan, ketepatan pembayaran jumlah klaim atau kapitasi, dan penyelenggaraan program pertemuan kemitraan adalah beberapa hal yang harus dipertahankan oleh BPJS Kesehatan.

Sejumlah hal yang perlu ditingkatkan, disebutkan, antara lain ketepatan jam kedatangan dokter sesuai jadwal di poliklinik, kecepatan petugas BPJS Kesehatan Center menangani masalah, serta kemudahan proses rujuk balik dari rumah sakit. (TW)

 

Program JKN: Kemkes akan Terapkan Sistem Kapitasi dengan Pembobotan

Kementerian Kesehatan (Kemkes) akan menerapkan sistem kapitasi dengan pembobotan dalam penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dengan demikian, tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan (faskes) di wilayah minim penduduk mendapat penghasilan yang sepadan.

"Perbaikan sistem kapitasi dilakukan semata demi keadilan," kata Sekjen Kemkes Untung Suseno Sutarjo dalam diskusi bertajuk "Dua Tahun Pelaksanaan Program JKN," di Jakarta, Selasa (29/12).

Dijelaskan, sistem kapitasi adalah model pembayaran untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) yang dihitung berdasarkan jumlah orang yang ditanggung. Dalam wilayah yang padat penduduk, maka dana kapitasi yang diterima FKTP di wilayah itu menjadi besar.

"Yang jadi masalah, jika FKTP berada di wilayah sepi penduduk. Dana kapitasi dibayarkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menjadi kecil, karena dananya dihitung per kepala," tuturnya.

Ditambahkan, kondisi ini menimbulkan kecemburuan di kalangan dokter dan tenaga kesehatan. Mereka merasa ada ketidakadilan dalam sistem, yang mana upah di tiap daerah dipukul rata, meski beban pekerjaannya berbeda.

"Untuk itu, kami tengah melakukan evaluasi Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 59 terkait tarif pelayanan kesehatan," ujarnya.

Nantinya, lanjut Untung, sistem kapitasi akan dibuat dengan pembobotan untuk FKTP di tiap-tiap daerah. Artinya, meski dua faskes memiliki jumlah peserta yang sama, namun tarif kapitasi yang diterima mungkin berbeda," katanya.

Sebelumnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga mengeluhkan hal senada. Ketua IDI, Ilham Oetama Marsis melihat adanya ketidakadilan dalam sistem kapitasi menjadi salah satu pendorong terjadinya ketimpangan distribusi dokter di Indonesia.

"Jika dibayar rendah bagaimana dokter memberi makan keluarganya," ucap Marsis menegaskan.

Menteri Kesehatan (Menkes) Nila Moeloek dalam pidato pembukaannya menyebutkan, sejumlah regulasi dalam program JKN yang akan diperbaiki, seperti status kepesertaan bayi baru lahir, besaran iuran peserta, penanganan defisit JKN, kasus penipuan (fraud) oleh faskes.

"Meski banyak masalah, tak berarti program JKN gagal. Pelaksaannya belum sempurna saja," tutur Nila.

Menkes berharap program JKN pada 2016 tak lagi mengalami defisit anggaran. Perlu dicarikan solusi agar defisit anggaran bisa ditekan seminimal mungkin.

"Bisa saja pemerintah menutup kerugian BPJS Kesehatan, tetapi harus dicarikan solusinya agar tak rugi terus," ucap Nila. (TW)

 

99,61 Persen Masyarakat Aceh Didaftarkan Program JKN

Pemerintah Aceh kembali memperkuat komitmennya dalam penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hal itu terbukti dengan didaftarkannya 99,61 persen atau sekitar 5 juta warganya sebagai peserta BPJS Kesehatan.

"Kami berharap provinsi Aceh bisa menjadi role model bagi provinsi lain dalam mendukung program JKN," kata Dirut BPJS Kesehatan, Fachmi Idris usai penandatanganan kerja sama dalam penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh (JKRA) 2016, di Jakarta, Selasa (29/12).

Hadir dalam kesempatan itu, Gubernur Aceh, Zaini Abdullah.

Fachmi Idris menjelaskan, program JKRA sudah digagas sejak 2010 lalu saat BPJS Kesehatan masih berstatus sebagai PT Askes (Persero). Saat itu, jumlah penduduk Aceh yang dijamin kesehatannya sebanyak 1,7 juta orang.

"Setelah itu, jumlah peserta ditingkatkan menjadi sekitar 5 juta orang atau hampir 100 persen penduduknya," tutur Fachmi.

Melalui penguatan komitmen kerja sama itu, lanjut Fachmi, diharapkan pelayanan jaminan kesehatan bisa terus ditingkatkan sehingga tingkat keluhan peserta JKRA pun menurun.

"Ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan JKRA sama seperti ketentuan jumlah kepesertaan (by name by address), perjanjian kerjasama, ketentuan masa berlaku kepesertaan, ketentuan jaminan pelayanan di fasilitas kesehatan (baik di tingkat FKTP maupun di tingkat FKRTL), serta ketentuan pembayaran iuran.

"Kami berharap semoga integrasi JKRA ke JKN-BPJS Kesehatan dapat menjadi inspirasi bagi pemerintah provinsi lainnya. Sehingga terwujud universal coverage bagi seluruh rakyat Indonesia pada 1 Januari 2019 seperti diamanatkan UU Nomor 40/2004 dan UU Nomor 24/2011," kata Fachmi menandaskan. (TW)

{jcomments on}

Defisit Anggaran JKN Bisa Ditutup dari Dana Cukai Rokok

29des15Tim Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK) Universitas Indonesia (UI) mengusulkan, defisit anggaran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang mencapai Rp6 triliun, bisa diselesaikan cepat dengan mengambil dari penerimaan cukai rokok.

"Defisit anggaran program JKN bisa ditutup dari cukai rokok. Hal itu, sebagai kompensasi karena rokok telah merusak kesehatan masyarakat," kata Tim PKEKK UI, Hasbullah Thabrany dalam diskusi seputar program JKN, di Jakarta, Jumat (25/12).

Hasbullah menilai program JKN saat ini telah menjadi tumpuan masyarakat dalam jaminan kesehatannya. Program JKN telah berhasil melindungi lebih dari 155 juta penduduk Indonesia atau sekitar 60 persen penduduk.

Secara nominal, Hasbullah menambahkan, program JKN mampu memobilisasi dana untuk program kesehatan yang dikelola BPJS Kesehatan. Dananya diperkirakan mencapai Rp60 triliun.

"Namun, kenyataannya tak seperti. Jumlah pengguna kartu JKN melebihi dari yang diperkirakan. Sehingga terjadi defisit anggaran di tubuh BPJS Kesehatan," tuturnya.

Selain itu, target cakupan PPU (peserta penerima upah) pada 2015 tidak naik secara signifikan. Jumlahnya hanya 25 persen dari target peserta sebanyak 155 juta peserta JKN.

"Sedangkan peserta dari penerima biaya iuran (PBI) yang dananya dibayarkan pemerintah masih mendominasi kepesertaan hingga 55 persen. Dan jumlah Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) yang relatif berisiko tinggi mencapai 10 persen," ujarnya.

Karena itu, lanjut Hasbullah, dengan mengotong biaya berobat PBPU yang mahal, maka dananya tidak cukup memadai jika porsi PPU masih rendah. Jika kondisi itu dibenahi, maka anggaran JKN akan tetap defisit pada 2016.

"Porsi biaya kesehatan yang dikelola BPJS Kesehatan untuk melindungi 60 persen penduduk pada 2015 diperkirakan sebesar 20 persen dari total belanja kesehatan penduduk Indonesia. Artinya, tingkat perlindungan hanya 1/3 dari yang seharusnya," katanya.

Ditambahkan, belanja biaya kesehatan di Indonesia secara internasional masih rendah, yakni sekitar Rp30.000 hingga Rp35.000. Sementara belanja kesehatan seluruh rakyat Indonesia pada 2015 diperkirakan mencapai Rp120.000 hingga Rp130.000.

"Belanja itu jauh lebih rendah dari belanja kesehatan penduduk Thailand dan Malaysia, yang diperkirakan mencapai Rp450.000 hingga Rp700.000 per kapita pada 2015. Karena itu, tak heran jika kualitas layanan kesehatan di Indonesia masih jelek," ucap Hasbullah menegaskan.

Untuk itu, menurut Hasbullah, solusi yang bisa dilakukan untuk mobilisasi dana lebih besar untuk menutup defisit anggaran JKN, bisa diambil dari penerimaan pemerintah dari cukai rokok. (TW)

{jcomments on}