Menko PMK: Dukung Kampanye PBHS di Sekolah

puanMenteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani meminta dukungan daerah dan swasta untuk ikut mengkampanyekan Gizi Seimbang dan Hidup Bersih dan Sehat (PBHS) di sekolah.

"Program PBHS ini harus didukung bersama, karena kebiasaan baik harus dilakukan sejak dini," kata Menko PMK, Puan Maharani saat kunjungan ke SD Kartika X-3, Bandung Barat, Jawa Barat, Rabu (28/1).

Hadir dalam kesempatan itu, Gubernur Jabar, Ahmad Heryawan dan Kepala BPOM, Roy Sparingga.

Puan mengatakan, perapan gizi seimbang bagi anak-anak bisa dimulai dengan membangun kebiasaan sarapan pagi, dan membawa bekal sekolah yang bergizi untuk pemenuhan gizinya. Selain itu, pembiasaan mencuci tangan dengan sabun di bawah air mengalir, menjaga kesehatan gigi hingga lingkungan sekolah sehat adalah butir dari PHBS.

"Sekolah seperti inilah yang memunculkan generasi penerus bangsa yang tak hanya mampu berdaya saing di dalam negeri, tapi juga dunia internasional," ujarnya.

Menurut Puan, masalah seputar gizi anak hingga kini masih banyak yang perlu dibenahi. Ia mengaku, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri untuk menuntaskan semua permasalahan itu, tetapi harus didukung semua kalangan, termasuk dunia usaha. (TW)

{jcomments on}

Pemerintah Harus Benahi Layanan Primer

Pemerintah diminta membenahi infrastruktur di Puskesmas, sebagai garda terdepan layanan primer dalam pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Karena saat ini, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) sudah kelebihan beban pasien BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan dengan penyakit ringan.

"Akibat fasilitas kesehatan di Puskesmas yang minim, mereka lebih suka memberi rujukan pasien ke rumah sakit. Pasien dengan penyakit ringan yang seharusnya bisa ditangani Puskesmas jadi menumpuk di RSUD," kata Ahmad Riski Sadiq, anggota Komisi IX DPR RI, di gedung DPR Senayan Jakarta, Selasa (28/1) malam.

Kondisi itu, lanjut Riski, banyak ditemui saat kunjungan kerjanya di daerah pemilihannya di Jawa Timur, beberapa waktu lalu. Masyarakat banyak yang mengeluhkan kualitas layanan dan infrastruktur kesehatan di Puskesmas yang dinilainya masih minim.

"Seperti jatuh dari motor, penanganannya harus dijahit. Tindakan seperti itu seharusnya bisa di Puskesmas saja. Tapi karena fasilitas Puskesmas tidak ada, pasien terpaksa dirujuk ke RSUD," kata anggota DPR dari Fraksi PAN ini.

Untuk itu, ia meminta pemerintah memberi perhatian serius untuk mengalokasikan anggaran pembangunan infrastruktur kesehatan. Terutama pada layanan primer seperti Puskesmas atau klinik mitra BPJS Kesehatan.

Ia menyayangkan, minimnya infrastruktur Puskesmas juga terjadi di wilayah Jakarta dan sekitarnya. "Coba bayangkan, kalau Puskesmas di Bekasi, Depok, Tangerang saja masih minim infrastruktur, bagaimana dengan yang ada di daerah pelosok," ujar Riski mempertanyakan.

Riski mengkritisi, perhatian pemerintah pusat terhadap pembangunan di bidang kesehatan masih rendah. Padahal Undang-Undang (UU) Nomor 36 tentang Kesehatan mengamanatkan anggaran kesehatan minimal 5 persen dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) di luar gaji.

Namun kenyataannya, anggaran kesehatan baru sekitar 47,4 triliun rupiah atau 2,5 persen dari total APBN 2015. Anggaran kesehatan belum sampai 5 persen. Pos-pos kesejahteraan
belum diberikan alokasi yang cukup besar.

Lebih parahnya lagi, lanjut Riski, 50 persen dari anggaran Kemkes habis untuk mengkaver premi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI). "Uang Kemenkes habis untuk membayar premi PBI dan gaji pegawai. Sehingga dana untuk pembangunan infrastruktur kesehatan hanya tersisa sedikit sekali," tuturnya.

Dampaknya, menurut Riski, tak sedikit pasien BPJS Kesehatan dengan penyakit sedang hingga berat yang terpaksa dipulangkan dalam keadaan belum sembuh. Karena rumah sakit harus melayani pasien lain yang sudah mengantri.

"Saya menerima keluhan, ada pasien yang terpaksa dicopot oksigen dan infus pukul satu malam, diminta pulang untuk rawat jalan saja," kata Riski menandaskan. (TW)

{jcomments on}

GenRe Bentengi Kaum Muda Dari Narkoba

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) akan menggiatkan kembali program Generasi Berencana (GenRe) guna jadi benteng kaum muda dari gempuran narkoba.

"Melalui progarm GenRe, kami ingin membangun kesadaran kaum muda betapa berbahaya narkoba sehingga tak mudah terbujuk rayuan bandar narkoba yang mengintai di luar rumah," kata Deputi Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga (KSPK) BKKBN Sudibyo Alimoeso kepada wartawan di Jakarta, Senin (26/1) petang.

Dijelaskan, fokus BKKBN adalah menjauhkan remaja dari seks bebas, narkoba dan HIV/AIDS.
Hal itu penting, karena saat ini banyak remaja yang terjebak dalam problematika seks bebas, narkoba dan HIV/AIDS.

"Kasus paling baru adalah kecelakaan fatal di Jalan Arteri Pondok Indah, Jakarta Selatan. Itu dampak negatif dari narkoba yang sangat membahayakan. Untuk itu, kita harus bertindak, bersama-sama mulai dari keluarga, masyarakat dan pemerintah," ujarnya.

Kewaspadaan ini menjadi penting, karena menurut Sudibyo Alimoeso, jumlah remaja Indonesia ada sekitar 67 juta orang. Dan itu merupakan segmen terbesar untuk dijadikan sebagai pasar penjualan narkoba.

"Remaja ini merupakan sumber daya manusia yang memainkan di era bonus demografi beberapa tahun ke depan ini. Jika mereka terkena bujuk rayu narkoba, maka hancurlah Indonesia," katanya.

Melalui program GenRe, Sudibyo menjelaskan, akan dibentuk pusat informasi konseling yang penyuluhnya merupakan teman-teman sebaya. Mereka diharapkan dapat lebih mudah menyampaikan pesan ke sesama remaja.

"Pusat informasi dan konseling akan berada di sekolah dan perguruan tinggi," katanya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan, indonesia perang melawan narkoba. Mengingat saat ini ada sekitar 4,5 juta orang yang terkena narkoba, dan ada 1,2 juta orang yang sudah tidak bisa direhabilitasi, karena kondisi kecanduannya yang parah. (TW)

{jcomments on}

Ajari Anak Gaya Hidup Sehat Sejak Dini

27jan15Kebiasaan hidup bersih dan sehat harus dilatih sejak dini. Untuk itu, Kementerian Kesehatan menggandeng Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memperkuat program Unit Kesehatan Sekolah (UKS) guna menanamkan kebiasaan baik tersebut.

"Kebiasaan baik bisa dimulai dari hal-hal kecil seperti mencuci tangan sebelum makan atau sesudah berkemih. Atau menjaga kebersihan di lingkungan sekolah," kata Menteri Kesehatan (Menkes) Prof Nila FA Moeloek usai bertemu dengan Mendikbud Anies Baswedan, di Senayan Jakarta, Selasa (27/1)

Menurut Prof Nila, anak di sekolah juga kurang bergerak dan kurang memiliki kesadaran untuk berolahraga. Ia berharap sekolah bisa lebih kreatif untuk membuat kegiatan atau permainan yang mendorong anak untuk bergerak.

"Di jam istirahat, buat permainan yang membuat anak bergerak dan riang gembira. Setelah itu anak bisa menyerap pelajaran dengan lebih baik, karena peredaran darah lebih lancar dan oksigen bisa lebih cepat ke otak," tuturnya.

Dan yang tak kalah penting, lanjut Menkes, konsumsi makanan sehat. Jika sekolah tidak bisa menyediakan kantin sehat, anak harus membawa bekal sehatnya sendiri.

"Karena sekolah dimulai pukul 07.00-15.00 WIB, untuk itu siswa dianjurkan membawa bekal yang cukup karena setiap tiga jam sekali anak harus makan porsi kecil atau snack" ujarnya.

Ditambahkan, kebersihan sanitasi dan kamar mandi juga diperlukan. Karena tempat itu bida menjadi sarang penyakit jika tidak secara rutin dibersihkan.

"Kami berharap UKS ini benar-benar bisa diterapkan di semua sekolah, baik negeri maupun swasta. Dengan demikian, sekolah bisa menjadi tempat pembelajaran hidup sehat," ucap Menkes menegaskan.

Hal senada dikemukakan Mendikbud Anies Baswedan. Ia berharap revolusi mental dalam bidang kesehatan juga terjadi di sekolah. Misalkan lewat program UKS.

"Kami harap sekolah tidak terbebani oleh program UKS yang nanti kita kembangkan lagi materinya seperti apa. Yang pasti mengajari anak bergaya hidup sehat,"ucap Anies.

Ditambahkan, Kemendikbud pada 2011 lalu memiliki program yang disebut "Program Makanan Tambahan untuk Anak Sekolah" (PMTAS). Program tersebut kemungkinan akan diterapkan lagi.

"Sebanyak 40 persen anak, terutama di daerah yang berangkat sekolah tanpa sarapan. Melalui PMTAS, kami berharap kendala ini bisa diatasi sehingga anak dapat asupan gizi yang cukup saat belajar di sekolah," ujarnya.

Anies menyadari untuk mencapai hal itu, pihaknya tidak bisa bekerja sendiri. Ia akan bekerjasama lintas kementerian seperti dengan Kemenkes, Kementerian Pertanian serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). (TW)

 

Penyakit Kusta: Menkes Canangkan 'Resolusi Jakarta'

26jan15-2Guna mencapai target eliminasi kusta pada 2020, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) membuat program kerja yang disebut "Resolusi Jakarta". Resolusi tersebut memuat tiga pendekatan, yang lebih banyak melibatkan masyarakat.

"Resolusi jakarta ini diharapkan bisa menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap penderita kusta," kata Menkes Prof Nila FA Moeloek saat pencanangan 'Resolusi Jakarta Guna Hilangkan Stigma dan Diskriminasi Kusta', pada peringatan Hari Kusta sedunia di gedung Kemenkes, Senin (26/1).

Hadir dalam acara itu WHO Representative to Indonesia, Dr Kanchit Limpakarnjanarat, The President of International Federation of Anti-Leprosy Associations (ILEP), Jan Van Berkel, dan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes, dr HM Subuh.

Prof Nila memaparkan, resolusi pertama meminta masyarakat agar berani bergaul dengan Orang yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK). Kedua, meminta keluarga dan masyarakat untuk peduli dengan mengajak penderita kusta ke puskesmas.
Yang ketiga, ditambahkan, meminta tenaga kesehatan untuk melayani semua pasien dengan penuh kasih sayang dan tidak diskriminatif. "Resolusi ini telah disepakati para ahli, akademisi, dan perwakilan lembaga sosial masyarakat (LSM) baik nasional dan internasional," ucapnya.

Dikemukakan, Indonesia hingga saat ini merupakan salah satu negara dengan beban penyakit kusta yang tinggi. Pada tahun 2013, Indonesia menempati urutan ketiga di dunia setelah India dan Brazil, dengan jumlah kasus baru sebanyak 16.856 kasus.

"Dari jumlah itu, jumlah kecacatan tingkat 2 ada sebanyak 9,86 persen," ujarnya.

Penyakit kusta merupakan salah satu dari delapan penyakit terabaikan atau Neglected Tropical Disease (NTD) yang masih ada di Indonesia, yaitu Filaria, Kusta, Frambusia, Dengue, Helminthiasis, Schistosomiasis, Rabies dan Taeniasis.

"Indonesia sudah mengalami kemajuan yang pesat dalam pembangunan di segala bidang termasuk kesehatan. Namun kusta sebagai penyakit kuno masih ditemukan. Hingga kini, kusta seringkali terabaikan," kata Menkes.

Meski kusta tidak secara langsung masuk dalam pencapaian Millenium Development Goals (MDGs), namun hal itu terkait erat dengan lingkungan yaitu sanitasi. Penggunaan air bersih dan sanitasi akan sangat membantu penurunan angka kejadian penyakit NTD.
"Beban akibat penyakit kusta bukan hanya karena masih tingginya jumlah kasus yang ditemukan tetapi juga kecacatan yang diakibatkannya," katanya menegaskan.

Menkes menambahkan, pada 2000, Indonesia sudah mencapai eliminasi di tingkat nasional. Namun saat ini, masih ada 14 propinsi yang mempunyai beban tinggi yaitu Banten, Sulteng, Aceh, Sultra, Jatim, Sulsel, Sulbar, Sulut, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat dan Kalimantan Utara.

"Sesuai dengan peta jalan penanggulangan kusta, ditargetkan ke 14 propinsi tersebut akan eliminasi pada 2019," ujarnya.

Prof Nila menuturkan, masalah kusta di Indonesia masih sarat dengan stigma, sehingga menyulitkan dalam pencarian kasus kusta dan tatalaksana yang tepat. Padahal sebenarnya penyakit kusta dapat disembuhkan tuntas tanpa penampilan yang menakutkan dan kecacatan.

Kusta yang ditemukan sedini mungkin dengan pengobatan yang cepat dan tepat dapat disembuhkan dengan meminimalisasi kecacatan. Namun, bila terlambat ditemukan dan diobati dapat menimbulkan kecacatan permanen.

"Kecacatan yang terlihat pada penderita kusta seringkali tampak menyeramkan sehingga menyebabkan perasaan ketakutan yang berlebihan terhadap penderita itu sendiri atau lepraphobia", kata Menkes.

Meski penderita kusta telah menyelesaikan rangkaian terapi dengan minum obat atau release from treatment (RFT), status predikat kusta tetap melekat pada dirinya seumur hidup.

"Status predikat inilah yang menjadi dasar permasalahan psikologis pada penderita. Penderita merasa kecewa, takut, dan duka yang mendalam terhadap keadaan dirinya, sehingga menimbulkan perasaan tidak percaya diri, malu, merasa diri tidak berharga dan berguna dan kekhawatiran akan dikucilkan (self stigma)," ujarnya.

Selain itu, opini masyarakat juga menyebabkan penderita kusta dan keluarganya dijauhi dan dikucilkan oleh masyarakat.

Stigma dan diskriminasi dapat dialami oleh penderita dan OYPMK dalam bentuk penolakan di sekolah, di tempat kerja, dan dalam kesempatan mendapatkan pekerjaan. OYPMK dengan kecacatan menjadi bergantung baik secara fisik maupun finansial kepada orang lain.

"Pada akhirnya kondisi itu berujung pada kemiskinan," ucap Menkes menandaskan. (TW)

 

Dibutuhkan Standardisasi Pelayanan KB

26jan15Program Keluarga Berencana (KB) di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) belum berjalan optimal. Salah satu kendala adalah belum adanya standar klinis pelayanan KB yang harus diselesaikan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) atau apakah harus dirujuk ke Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL).

"Tindakan tubektomi interval, contohnya, apakah hal itu harus diselesaikan di FKTP atau bisa dirujuk ke FKRTL," kata Fasli Jalal, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dalam acara "Diseminasi Kajian Program KB di Era Jaminan Kesehatan Nasional 2014" di Jakarta, Kamis (22/1).

Hadir dalam kesempatan itu, Kepala Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Prof Laksono Trisnantoro.

Kendala lainnya, lanjut Fasli, belum terintegrasinya sistem informasi fasilitas kesehatan antara BPJS Kesehatan dengan Sistem Informasi Manajemen (SIM) BKKBN. Sistem informasi semacam itu penting untuk memastikan setiap fasilitas kesehatan terdata dalam subsistem distribusi alat kontrasepsi dan pencatatan dan pelaporan pelayanan kontrasepsi.

Selain itu, Fasli menambahkan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan harus lebih gencar lagi mensosialisasikan mekanisme klaim pelayanan KB yang dilakukan oleh jejaring FKTP, seperti bidan praktik mandiri. Dengan demikian, masyarakat bisa dengan mudah mendapatkan layanan KB mandiri.

Fasli menjelaskan, temuan masalah tersebut diperoleh dari hasil kajian yang dilakukan bersama BKKBN dengan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2014 dan badan kependudukan dunia, UNFPA.

Kajian Program KB di Era JKN 2014. Itu dilakukan di 5 provinsi, yaitu Sumatera Utara (Sumut), Daerah Istimewa (DI) Yoyakarta, Sulawesi Selatan (Sulsel), Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua.

Kendati demikian, Fasli mengaku senang pihaknya dilibatkan dalam pembahasan perubahan kedua atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, khususnya Pasal 21 terkait langsung dengan penyelenggaraan pelayanan KB.

"Saya berharap agar ketentuan mengenai standardisasi pelayanan KB serta pemenuhan kebutuhan alat dan obat kontrasepsi bagi peserta JKN di fasilitas kesehatan, dapat diatur secara jelas. Termasuk keterlibatan BKKBN sebagai salah satu anggota Komite Nasional dalam penetapan daftar dan harga obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai," tuturnya.

Untuk itu, kata Fasli, BKKBN bersama Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan telah menerbitkan Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Keluarga Berencana dalam Jaminan Kesehatan Nasional melalui Peraturan Kepala BKKBN Nomor 185/PER/E1/2014.

"Sosialisasi Pedoman ini telah dilakukan pada 26-28 November 2014 di Kota Surakarta. Kami berharap Pedoman ini dapat menjadi acuan bagi Pemerintah Pusat termasuk BPJS Kesehatan tentang bagaimana dapat memastikan pelayanan dan pembiayaan pelayanan KB dapat diberikan di fasilitas kesehatan," katanya menegaskan.

Ditambahkan, selama ini cakupan pelayanan KB diatur secara teknis dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Perpres ini menetapkan bahwa jenis pelayanan KB yang dijamin dalam JKN adalah konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi, dan tubektomi bekerja sama dengan lembaga yang membidangi KB.

"Definisi operasional kontrasepsi dasar yang digunakan adalah pelayanan kontrasepsi yang meliputi pelayanan KB pil, suntik, pemasangan/pencabutan IUD, dan pemasangan atau pencabutan implan," ujarnya.

Fasli menilai, pembiayaan pelayanan KB yang terintegrasi dalam JKN merupakan peluang untuk mengatasi hambatan ekonomi masyarakat (pasangan usia subur/PUS) guna mendapatkan pelayanan KB sesuai tujuan reproduksinya.

"Beberapa penelitian menunjukkan akses masyarakat menuju fasilitas kesehatan tak hanya terkendala dari sisi pembiayaan pelayanan kesehatan. Biaya perjalanan ke fasilitas kesehatan dan opportunity cost yang hilang pascapenggunaan metode kontrasepsi, khususnya vasektomi, juga perlu menjadi perhatian," katanya.

Pembiayaan pelayanan KB di FKTP dan FKRTL telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI (Permenkes) Nomor 59 Tahun 2014 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.

Permenkes ini menyebutkan, pembiayaan pelayanan KB dapat diklaim melalui dana nonkapitasi di FKTP, yaitu pelayanan KB suntik Rp15 ribu, pemasangan atau pencabutan IUD Rp100 ribu, pemasangan atau pencabutan implan Rp100 ribu, vasektomi Rp 350 ribu, komplikasi pascapenggunaan kontrasepsi Rp125 ribu.

Sementara pelayanan KB di FKRTL yang bersifat operatif atau berdasarkan indikasi medis rujukan dari FKTP diklaim dari paket INA CBG.

"Tentunya penyesuaian pola pembiayaan pelayanan KB, yang sebelumnya diatur melalui pembiayaan kapitasi, berdasarkan Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor HK/MENKES/31/2014 tentang Pelaksanaan Standar Tarif Pelayanan Kesehatan pada FKTP dan TL dalam program JKN menunjukkan keberpihakan Pemerintah dalam penyelenggaraan program KB nasional," katanya.

Fasli yakin pemikiran bahwa pelayanan KB adalah pelayanan yang bersifat promotif dan preventif untuk meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak bisa ikut mengendalikan biaya pelayanan kesehatan secara keseluruhan. (TW)

{jcomments on}

Menkes Tingkatkan Pelayanan Kesehatan Jamaah Haji Indonesia

Indonesia memiliki jamaah haji dalam jumlah terbesar. Permasalahan kesehatan yang dialami jemaah haji Indonesia, bukan hanya karena penyakit melainkan juga karena masalah usia lanjut. Itu sebabnya, Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek menyampaikan keinginannya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan bagi jamaah haji Indonesia.

Hal itu diungkapkan saat bertemu dengan Direktur Jenderal Urusan Kese hatan Wilayah Makkah Khalid Obaid Zafar, baru-baru ini. Beberapa hal yang dibicarakan diantaranya, terkait pelayanan kesehatan bagi jamaah Indonesia selama perjalanan haji dan umrah, guna mendapatkan kemudahan akses dan jaminan kesehatan.

"Kami perlu meyakinkan bahwa masyarakat Indonesia akan mendapatkan layanan kesehatan yang memadai", ungkap Menkes. Dalam dialog tersebut, Khalid menerangkan bahwa Pemerintah Saudi bertanggungjawab sepenuhnya atas seluruh pelayanan kesehatan jemaah haji dan umrah.
Tidak ada pungutan biaya untuk pelayanan medis jemaah, selama berada dalam layanan rumah sakit pemerintah. Pelayanan kesehatan oleh negara pengirim haji dimungkinkan untuk diselenggarakan sebagai tambahan dan wajib mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan oleh Pemerin tah Saudi. Melalui pertemuan tersebut, diperoleh kesepahaman prinsip untuk menjalin komunikasi dan kerjasama dalam pelayanan kesehatan bagi jemaah haji pada tahun 1436 H.

Diharapkan layanan kesehatan dapat meningkat melalui pembukaan akses layanan kesehatan. Pemerintah Saudi akan berupaya untuk melayani seluruh kebutuhan medis jemaah. Pemerintah Saudi meminta agar ada penanda bagi setiap jemaah yang memiliki masalah kesehatan tertentu, agar mudah dalam penanganannya.

Penggunaan International Statis tical Classification of Diseases and Related Health Problems, 10th Revision atau disingkat menjadi ICD-10 adalah klasifikasi diagnostik standar internasional akan memudahkan komunikasi pelayanan medis bagi jemaah haji. Di harapkan, jemaah umrah juga dibekali informasi medis tersebut.

"Kami akan mengatur dengan sebaik-baiknya, agar seluruh jemaah haji memperoleh layanan sesuai kebutuhannya," janji Khalid. (rko)

sumber: http://www.indopos.co.id/

 

Pemerintah Luncurkan Gerakan "Bude Jamu"

23jan15Guna mengajak masyarakat minum jamu untuk menjaga kebugaran tubuh, Kementerian Kesehatan meluncurkan Gerakan "Bugar Dengan (Bude) Jamu". Upaya ini sekaligus ikut melestarikan warisan leluhur.

"Mari mulai kebiasaan baik minum jamu untuk kebugaran dari diri sendiri, keluarga dan lingkungan," kata Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Puan Maharani usai peluncuran "Bude Jamu" di kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta, Jumat (23/1).

Hadir dalam kesempatan itu, Menteri Koperasi dan UKM, Puspayoga, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembisa, Menteri Pariwisata, Arief Yahya, Menteri Perindusian, Saleh Husin, Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Roy Sparingga dan Kepala Badan Nasional Narkoba (BNN), Anang Iskandar.

Gerakan Bude Jamu ini, lanjut Puan Maharani, akan disosialisasikan di pemerintahan dengan cara menyediakan jamu pada rapat-rapat di kantor, membuka pojok jamu di tempat-tempat umum hingga penyediaan minuman jamu di hotel-hotel.

Menurut Puan Maharani, saat ini jamu telah mengalami revolusi baik dari segi rasa, bentuk sediaan hingga manfaatnya. Dengan demikian,jamu tidak lagi dianggap sebagai minuman masyarakat kelas menengah ke bawah, tetapi semua kalangan.

"Jamu juga tidak lagi memiliki stigma negatif karena diproduksi secara sederhana dan pahit rasanya. Kini jamu dapat dinikmati semua kalangan dalam bentuk sediaan yang sangat praktis, enak, berkhasiat dan menjadi bagian dari gaya hidup," kata Puan menandaskan.

Sementara itu, Menkes Prof Nila FA Moeloek mengemukakan, nantinya pelayanan kesehatan di masa depan tak hanya menyelenggarakan pelayanan konvensional, tetapi juga pelayanan kesehatan tradisional seperti tertuang pada Peraturan Pemerintah No 103/2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional.

"Upaya ini memang butuh waktu. Karena spektrum jamu sangat luas mulai dari minuman jamu seperti beras kencur dan sinom, sampai dengan sediaan jamu untuk pengobatan," tutur Menkes.

Dikatakan, jamu yang berkhasiat meningkatkan kebugaran akan terus dikampanyekan pemanfaatannya untuk meningkatkan kesehatan. Sementara jamu yang diklaim dapat mengobati penyakit, tentunya harus melalui uji klinik yang benar.

"Saat ini ada sekitar 400 saintifikasi jamu, yaitu penyediaan data ilmiah mulai dari keamanan, khasiat, dan mutunya. Ini yang nantinya kita tindaklanjuti lewat uji klinis sehingga jamu bisa menjadi bagian dari pengobatan modern. Jamu dipakai kalangan dokter," ucap Prof Nila FA Moeloek.

Acara ditutup dengan minum jamu beras kencur dan kunyit asam bersama dengan seluruh tamu dan undangan. (TW)

{jcomments on}