Guna mencapai target eliminasi kusta pada 2020, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) membuat program kerja yang disebut "Resolusi Jakarta". Resolusi tersebut memuat tiga pendekatan, yang lebih banyak melibatkan masyarakat.
"Resolusi jakarta ini diharapkan bisa menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap penderita kusta," kata Menkes Prof Nila FA Moeloek saat pencanangan 'Resolusi Jakarta Guna Hilangkan Stigma dan Diskriminasi Kusta', pada peringatan Hari Kusta sedunia di gedung Kemenkes, Senin (26/1).
Hadir dalam acara itu WHO Representative to Indonesia, Dr Kanchit Limpakarnjanarat, The President of International Federation of Anti-Leprosy Associations (ILEP), Jan Van Berkel, dan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes, dr HM Subuh.
Prof Nila memaparkan, resolusi pertama meminta masyarakat agar berani bergaul dengan Orang yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK). Kedua, meminta keluarga dan masyarakat untuk peduli dengan mengajak penderita kusta ke puskesmas.
Yang ketiga, ditambahkan, meminta tenaga kesehatan untuk melayani semua pasien dengan penuh kasih sayang dan tidak diskriminatif. "Resolusi ini telah disepakati para ahli, akademisi, dan perwakilan lembaga sosial masyarakat (LSM) baik nasional dan internasional," ucapnya.
Dikemukakan, Indonesia hingga saat ini merupakan salah satu negara dengan beban penyakit kusta yang tinggi. Pada tahun 2013, Indonesia menempati urutan ketiga di dunia setelah India dan Brazil, dengan jumlah kasus baru sebanyak 16.856 kasus.
"Dari jumlah itu, jumlah kecacatan tingkat 2 ada sebanyak 9,86 persen," ujarnya.
Penyakit kusta merupakan salah satu dari delapan penyakit terabaikan atau Neglected Tropical Disease (NTD) yang masih ada di Indonesia, yaitu Filaria, Kusta, Frambusia, Dengue, Helminthiasis, Schistosomiasis, Rabies dan Taeniasis.
"Indonesia sudah mengalami kemajuan yang pesat dalam pembangunan di segala bidang termasuk kesehatan. Namun kusta sebagai penyakit kuno masih ditemukan. Hingga kini, kusta seringkali terabaikan," kata Menkes.
Meski kusta tidak secara langsung masuk dalam pencapaian Millenium Development Goals (MDGs), namun hal itu terkait erat dengan lingkungan yaitu sanitasi. Penggunaan air bersih dan sanitasi akan sangat membantu penurunan angka kejadian penyakit NTD.
"Beban akibat penyakit kusta bukan hanya karena masih tingginya jumlah kasus yang ditemukan tetapi juga kecacatan yang diakibatkannya," katanya menegaskan.
Menkes menambahkan, pada 2000, Indonesia sudah mencapai eliminasi di tingkat nasional. Namun saat ini, masih ada 14 propinsi yang mempunyai beban tinggi yaitu Banten, Sulteng, Aceh, Sultra, Jatim, Sulsel, Sulbar, Sulut, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat dan Kalimantan Utara.
"Sesuai dengan peta jalan penanggulangan kusta, ditargetkan ke 14 propinsi tersebut akan eliminasi pada 2019," ujarnya.
Prof Nila menuturkan, masalah kusta di Indonesia masih sarat dengan stigma, sehingga menyulitkan dalam pencarian kasus kusta dan tatalaksana yang tepat. Padahal sebenarnya penyakit kusta dapat disembuhkan tuntas tanpa penampilan yang menakutkan dan kecacatan.
Kusta yang ditemukan sedini mungkin dengan pengobatan yang cepat dan tepat dapat disembuhkan dengan meminimalisasi kecacatan. Namun, bila terlambat ditemukan dan diobati dapat menimbulkan kecacatan permanen.
"Kecacatan yang terlihat pada penderita kusta seringkali tampak menyeramkan sehingga menyebabkan perasaan ketakutan yang berlebihan terhadap penderita itu sendiri atau lepraphobia", kata Menkes.
Meski penderita kusta telah menyelesaikan rangkaian terapi dengan minum obat atau release from treatment (RFT), status predikat kusta tetap melekat pada dirinya seumur hidup.
"Status predikat inilah yang menjadi dasar permasalahan psikologis pada penderita. Penderita merasa kecewa, takut, dan duka yang mendalam terhadap keadaan dirinya, sehingga menimbulkan perasaan tidak percaya diri, malu, merasa diri tidak berharga dan berguna dan kekhawatiran akan dikucilkan (self stigma)," ujarnya.
Selain itu, opini masyarakat juga menyebabkan penderita kusta dan keluarganya dijauhi dan dikucilkan oleh masyarakat.
Stigma dan diskriminasi dapat dialami oleh penderita dan OYPMK dalam bentuk penolakan di sekolah, di tempat kerja, dan dalam kesempatan mendapatkan pekerjaan. OYPMK dengan kecacatan menjadi bergantung baik secara fisik maupun finansial kepada orang lain.
"Pada akhirnya kondisi itu berujung pada kemiskinan," ucap Menkes menandaskan. (TW)