Masih banyak industri makanan kecil yang mengabaikan masalah keamanan pangan. Demi mendapat keuntungan, mereka kerap menggunakan bahan tambahan berbahaya.
Hal itu mengemuka dalam diskusi media bertajuk keamanan pangan, di kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta, Rabu (1/4).
Pembicara dalam diskusi itu adalah Pelaksana Tugas DirekturPenyehatan Lingkungan, Ditjen P2PL (Pengendalian Penyakit danPenyehatan Lingkungan) Kementerian Kesehatan, Ekowati Rahajeng,Kasubdit Penerapan dan Pengawasan Jaminan Mutu, Direktorat Mutu dan Standardisasi, Kementerian Pertanian, Ita Istiningdiyah Munardini, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Husna Zahir dan DekanFakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Agustin Kusumawati.
Untuk itu, Pelaksana Tugas Direktur Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Ekowati Rahajeng menilai semua daerah harus memiliki peraturan daerah (perda) untuk keamanan pangan. Perda semacam itu tampaknya belum menjadi prioritas daerah.
"Kami terus mendesak pada daerah untuk segera membuat perda tentang keamanan pangan. Karena persoalan yang ada saat ini bukan pada ketersediaan pangan, tetapi bagaimana keamanannya," ucap Ekowati.
Ia mengutip data dari lembaga Unicef 2012, yang mana diare merupakan salah satu penyakit utama yang mengakibatkan kematian pada anak-anak Indonesia di bawah usia 5 tahun. Jumlahnya mencapai 8 persen atau 480ribu anak setiap tahunnya.
Selain diare, masalah gizi juga turut menghantui kesehatan anak-anak Indonesia yang berdampak pada kematian lebih dari 6,6 juta anak pada 2012.
"Diare terjadi akibat tidak higienisnya makanan atau minuman yang dikonsumsi anak-anak. Cemaran pada makanan dapat berupa cemaran biologi, kimia dan fisik," katanya.
Untuk cemaran biologi, disebutkan bisa berasal dari parasit, jamur,virus, bakteri, pencemaran air, seperti penyebaran penyakit hepatitis. Sementara cemaran kimia bisa berupa penambahan bahan-bahan kimia berbahaya pada makanan seperti logam berat, intoksikasi, rhodamin, borax, formalin metanil yellow, cemaran industri, residu pestisida,serta toksin jamur.
"Di sisi lain, cemaran fisik bisa berupa benda-benda seperti potongan kayu, batu, logam, kuku, isi staples, lidi, atau rambut ke dalam makanan," katanya.
Ekowati mengatakan pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meminimalisasi adanya makanan tercemar. Beberapa hal yang dilakukan yaitu pembinaan dan pengawasan tempat pengelolaan makanan, dukungan alat deteksi cepat cemaran pangan, serta pembinaan ke 3.300 puskesmas untuk kemudian mengedukasi pedagang kecil.
"Namun pemerintah tidak bisa melakukan semuanya sendiri. Diperlukan peran pengusaha dan masyarakat," katanya.
Ekowati berpendapat pemerintah daerah bisa berperan dengan membuat regulasi yang menguntungkan pedagang makanan yang taat. "Pengawasan terhadap industri kecil tidak mudah. Pemda bisa memprioritaskan pendanaan kepada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang telah mengolah makanan dengan aman.
Ditambahkan, perhatian saat ini pada usaha warung makan kecil. "Nanti kami akan berikan contoh makanan yang baik ke warung-warung tersebut. Selain itu kami juga akan tempel poster sebagai imbauan ke masyarakat tentang makanan sehat," kata Ekowati menandaskan. (TW)
{jcomments on}